Selasa, 26 Agustus 2014

DOA-DOA MEMOHON KESABARAN, KETEGARAN DAN ISTIQOMAH DI ATAS ISLAM DAN TAKWA

Tidak ada komentar:




Berikut ini kami akan sebutkan beberapa doa dari Al-Quran dan hadits-hadits shohih yg semestinya dibaca oleh setiap muslim dan muslimah agar ia senantiasa sabar, tegar dan istiqomah di atas agama Islam dan dalam melaksanakan amal-amal ketaatan kepada Allah Ta’ala.
(*) DOA PERTAMA:
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
‘Robbanaa Laa Tuzigh Quluubanaa Ba’da Idz Hadaitanaa wa Hab Lanaa Min-Ladunka Rohmatan, innaka Antal-Wahhaab’
Artinya: “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Dzat yang Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8).
(*) DOA KEDUA:
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
‘Robbanaa Afrigh ‘Alainaa Shobron wa Tsabbit Aqdaamanaa wanshurnaa ‘Alal Qoumil Kaafiriin’.
Artinya: “Wahai Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 250).
(*) DOA KETIGA:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
‘Ya Muqollibal Quluubi Tsabbit Qolbiy ‘Alaa Diinika’.
Artinya: “Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. At-Tirmidzi no.3522, imam Ahmad IV/302, Al-Hakim I/525. Lihat Shohih Sunan At-Tirmidzi no.2792).
» Do’a ini merupakan doa yang paling sering dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
(*) DOA KEEMPAT:
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
‘Allaahumma Mushorrifal Quluub, Shorrif Quluubanaa ‘Alaa Tho’atika’
Artinya: “Ya Allah, Dzat yang mengarahkan hati, arahkanlah hati-hati kami untuk selalu taat kepada-Mu.” (HR. Muslim).
Demikianlah beberapa doa dari Al-Quran dan Hadits Shohih yg sepantasnya dipanjatkan oleh kita semua agar Allah ta’ala memberikan kpd kita taufiq dan pertolongan-Nya serta kemudahan untuk senantiasa sabar dan tegar serta istiqomah dalam memegang teguh agama Islam dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya hingga akhir hayat. Smg menjadi ilmu yg bermanfaat dan kita dapat mengamalkannya. آمِيْنَ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ (Klaten, 30 Agustus 2013)

MENEGOK KESABARAN DIRI KALA UJIAN DAN COBAAN MENERPA

Tidak ada komentar:


Tak ada jalan yang tak berkelok Tak ada lautan yang tak berombak. Tak ada ladang yang tak beronak. Di mana ada kehidupan pasti di situ ada ujian dan cobaan. Demikianlah sekelumit tentang sketsa kehidupan dunia yang fana ini. Allah Subhanahu wata’ala menjadikannya sebagai medan tempaan (darul ibtila’), untuk menguji kualitas kesabaran dan penghambaan segenap hamba-Nya.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menguji hamba-Nya yang beriman tidak untuk membinasakannya, tetapi untuk menguji sejauh manakah kesabaran dan penghambaannya. Sebab, sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala wajib diibadahi dalam kondisi sulit dan dalam hal-hal yang tidak disukai (oleh jiwa), sebagaimana pula Dia Subhanahu wata’ala wajib diibadahi dalam hal-hal yang disukai. Kebanyakan orang siap mempersembahkan penghambaannya kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam hal-hal yang disukainya. Karena itu, perhatikanlah penghambaan kepada-Nya dalam hal-hal yang tak disukai. Sebab, di situlah letak perbedaan yang membedakan kualitas para hamba. Kedudukan mereka di sisi Allah Subhanahu wata’ala pun sangat bergantung pada perbedaan kualitas tersebut.” (al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 5)
Ujian dan Cobaan dalam Ranah Kehidupan Beragama
Setiap muslim sejati tentu menyadari bahwa ragam ujian dan cobaan pasti menerpa kehidupannya. Tiada bimbingan ilahi dalam menghadapi ragam ujian dancobaan itu melainkan dengan bersabar atasnya meski disadari bahwa kesabaran itu sangat berat dilakukan. Namun, itulah hikmah kehidupan yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wata’ala Dzat Yang Maharahman. Dalam ranah kehidupan beragama, ada tiga jenis ujian dan cobaan yang tak mungkin seorang muslim lepas darinya. Bagaimana pun situasi dan kondisinya, pasti dia akan menghadapinya. Tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah sebagai berikut,
1. Perintah-perintah Allah Subhanahu wata’ala yang wajib ditaati.
2. Larangan-larangan Allah Subhanahu wata’ala (kemaksiatan) yang wajib dijauhi.
3. Musibah yang menimpa (takdir buruk).
Para ulama sepakat bahwa senjata utama untuk menghadapi tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah kesabaran, yaitu;
1. Sabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya Subhanahu wata’ala.
2. Sabar dari perbuatan maksiat, dengan selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala.
3. Sabar atas segala musibah yang menimpa dengan diiringi sikap ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wata’ala. (Lihat Qa’idah fish Shabr karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [hlm. 90—91], Syarh Shahih Muslim karya al-Hafizh an-Nawawi [3/101], dan Madarijus Salikin [2/156], dll.)
Sejauh manakah kesabaran dan penghambaan kita kepada Allah Subhanahu wata’ala terkait dengan tiga jenis ujian dan cobaan itu? Sudahkah kita bersabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala  dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya?
Sudahkah kita bersabar dari perbuatan maksiat dengan selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala? Sudahkah kita bersabar atas segala musibah yang menimpa dengan ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wata’ala?
Marilah kita menengok kesabaran diri masing-masing. Semoga Allah Subhanahu wata’ala menutupi segala kekurangan kita dan mengampuni segala kesalahan kita. Wallahul musta’an.
Dalam menjalani kehidupan beragama, setiap muslim tak bisa dipisahkan dengan lingkungan tempat hidupnya. Lingkungan yang bersifat majemuk baik dari sisi karakter, latar belakang keluarga dan pendidikan, maupun pemahaman agama. Di situlah seorang muslim akan diberi ujian dan cobaan oleh Allah Subhanahu wata’ala terkait dengan tiga jenis kesabaran di atas. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
الم () أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُو
“Alif Laam Miim. Apakah manusia mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian?” (al-‘Ankabut: 1—2)
Ujian dan cobaan itu pun beragam bentuknya. Terkadang dalam bentuk keburukan dan terkadang pula dalam bentuk kebaikan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan “Alif Laam Miim. Apakah manusia mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian?” sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)
Di antara ujian dan cobaan itu adalah adanya orang-orang jahat yang tidak suka terhadap orang-orang yang istiqamah di atas jalan kebenaran. Mereka mencela, menghina, mencibir, bahkan memusuhi orang-orang yang istiqamah itu. Kondisi semacam ini bahkan telah dialami oleh para nabi terdahulu yang mulia. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ الْمُجْرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dariorang-orang yang berdosa. Cukuplah Rabb-mu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.” (al-Furqan: 31)
Maka dari itu, siapa saja dari hamba Allah Subhanahu wata’ala , baik muslim maupun muslimah yang berupaya istiqamah, dengan meniti jejak Rasulullah n dan para sahabatnya (bermanhaj salaf) akan mengalami ujian terkait dengan keistiqamahannya itu. Tudingan sok alim, eksklusif, merasa benar sendiri, bertentangan dengan adat dan tradisi masyarakat, teroris, dan ujung-ujungnya vonis sesat, kerap kali menerpa. Semua itu Allah Subhanahu wata’ala tetapkan untuk menguji kesabaran para hamba- Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kalian bersabar? Dan adalah Rabb-mu Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)
Dengan demikian, tiada jalan keselamatan dari segala ujian itu selain bersabar di atas kebenaran dengan mengedepankan sikap ilmiah, berpijak di atas hikmah, tidak mengedepankan hawa nafsu ataupun perasaan, penuh kehatihatian dalam menilai dan melangkah (ta’anni), tidak mudah bereaksi, dan tidak serampangan bertindak. Tentu saja, tidak lupa memohon pertolongan dari Allah Subhanahu wata’ala Penguasa alam semesta dan berkonsultasi dengan para ulama yang mulia.
Satu hal penting yang patut dicatat, patokan kebenaran bukanlah banyaknya\ jumlah pengikut atau orang yang mengerjakan sebuah amalan. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di antara prinsip kaum jahiliah adalah menilai kebenaran dengan jumlah mayoritas dan kesalahan dengan jumlah minoritas. Jadi, segala sesuatu yang diikuti kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti segelintir orang berarti salah. Inilah patokan mereka dalam hal menilai kebenaran dan kesalahan. Padahal patokan tersebut tidak benar, karena Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Tetapi mayoritas manusia itu tidak mengetahui.” (al-A’raf: 187)
وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ ۖ وَإِن وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya  Kami mendapati mayoritas mereka orangorang yang fasik.” (al-A’raf: 102)
dan sebagainya.” (Syarh Masail al-Jahiliyah, hlm. 60)
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa sedikitnya pengikut suatu dakwah, tidak lazimnya cara ibadah yang dilakukan (tidak seperti kebanyakan orang), atau penampilan yang berbeda dengan keumuman, bukanlah alasan untuk memvonis salah atau sesatnya sebuah dakwah, lebih-lebih manakala dakwah tersebut berpijak di atas bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Bukankah dakwah para rasul yang mulia—di awal kemunculannya— tidak umum dan tidak lazim di mata kaumnya?! Bukankah tidak sedikit dari para rasul tersebut yang dimusuhi dan ditentang dakwahnya? Sebagian mereka hanya diikuti oleh segelintir orang, bahkan sebagian lainnya tidak mempunyai pengikut! Namun, itu semua tak mengurangi nilai dakwah yang mereka emban dan tak menjadikan dakwah mereka divonis salah atau sesat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Hud: 40)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Telah ditampakkan kepadaku beberapa umat, maka aku melihat seorang nabi yang bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi yang bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi yang tidak ada seorang pun yang bersamanya.” (HR. al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy Syaikh rahimahumallah berkata, “Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang berdalil dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama jumlah yang banyak. Padahal tidaklah demikian adanya. Yang semestinya adalah seseorang mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja.” (Taisir al-‘Azizil Hamid, hlm.106)
Fenomena Syahwat dan Syubhat
Di era globalisasi modern ini, syahwat dan syubhat menjadi ujian tersendiri bagi setiap muslim yang istiqamah di atas kebenaran. Ragam ujian itu pun benar-benar membutuhkan perjuangan dan kesabaran yang sangat tinggi. Godaan syahwat demikian gencarnya menerpa iman dan jiwa seseorang. Wanita dengan berbagai model dan aksen selalu mengiringi derap langkah manusia sepanjang zaman. Penampilan yang norak dan pakaian serba minim telah merambah putri-putri kaum muslimin.
Tak hanya kawula muda, para ibu rumah tangga sekalipun tak luput darinya. Akibatnya, mental dan rasa malunya setahap demi setahap terkikis seiring dengan lajunya arus modernisasi. Tak mengherankan apabila mereka menjadi ikon utama dalam dunia iklan, baik di media cetak maupun media elektronik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku sebuah godaan yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada wanita.” (HR. al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2741, dari Usamah bin Zaid rahimahumallah)
Betapa banyak para pemuda yang tak bisa bersabar terhadap godaan wanita. Betapa banyak para suami yang tak mampu bersabar di atas ketaatan karena godaan sang istri. Enggan untuk istiqamah karena tak disetujui oleh istri. Tak mau hadir di majelis-majelis taklim karena “takut” dengan istri. Bahkan, terkadang ia siap melakukan perbuatan maksiat; wirausaha dengan cara yang haram, mencuri, merampok, menipu, dan semisalnya demi memenuhi tuntutanistri. Dunia dan akhiratnya rusak akibat godaan wanita. Wallahul musta’an.
Di antara godaan syahwat yang juga berbahaya bagi kehidupan beragama seorang muslim adalah harta. Slogan “waktu adalah uang” menjadi prinsip hidup sebagian orang. Berpegang teguh dengan agama akan mewariskan kemiskinan dan kesengsaraan, dianggap suatu keniscayaan. Tak mengherankan apabila sebagian orang ada yang menjadikan harta sebagai tolok ukur kesuksesan dan keberhasilan. Fenomena ini sungguh telah terjadi pada diri Qarun, seorang konglomerat di masa Nabi Musa ‘Alaihissalam yang dibinasakan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Menurut Qarun, limpahan harta yang ada pada dirinya merupakan bukti kesuksesan dan keridhaan Allah Subhanahu wata’ala kepadanya, sedangkan Nabi Musa q dan yang bersamanya tidak mendapatkan keridhaan dari Allah Subhanahu wata’ala karena tak sukses dari sisi harta. Maka dari itu, Allah Subhanahu wata’ala membantah persangkaan Qarun yang batil itu dengan firman-Nya Subhanahu wata’ala,
أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“Apakah dia tidak mengetahui bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang jahat itu tentang dosa-dosa mereka.” (al-Qashash: 78)
Ujian harta ternyata tidak hanya menerpa orang awam atau anak jalanan semata, tetapi orang berilmu pun nyaris terancam manakala orientasi hidupnya adalah dunia. Di mana ada “lahan basah” dia pun ada di sana, walaupun harus mengikuti keinginan big boss-nya yang kerap kali tak sesuai dengan syariat dan hati nuraninya. Syahdan, ketika hawa nafsu telah membelenggu fitrah sucinya, ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala (agama) dia jual dengan harga yang murah dan manhaj (prinsip agamanya) pun dia korbankan demi meraih kelayakan hidup atau kemapanan ekonomi. Dengan tegas Allah Subhanahu wata’ala memperingatkan orang-orang berilmu dari perbuatan yang tercela itu, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ () أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ ۚ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalamperutnya melainkan api. Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan (membeli) siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menghadapi api neraka!” (al-Baqarah: 174—175)
Ada hal penting yang patut diperhatikan. Sikap selektif dan sensitif dalam mendapatkan harta harus selalu dimiliki oleh setiap muslim, baik untuk kehidupan pribadi maupun kepentingan dakwahnya. Tidak asal comot. Tidak pula pakai prinsip “aji mumpung”. Mumpung ada dana, diterima sajalah!? Tanpa mencermati dari mana datangnya dana tersebut, apa latar belakangnya, dan apa pula efek setelah mendapatkannya, baik yang berkaitan dengan dirinya maupun dakwah secara umum.
Langkah-langkah di atas seyogianya ditempuh oleh setiap muslim sekalipun dana tersebut berasal dari lembaga/yayasan yang bergerak di bidang keagamaan atau bahkan yang mengatasnamakan Ahlus Sunnah. Betapa banyak lembaga/yayasan yang bergerak di bidang keagamaan atau yang mengatasnamakan Ahlus Sunnah, realitasnya jauh panggang dari api. Sudahkah kita bersabar menghadapi kondisi yang semacam ini? Marilah kita menengok kesabaran diri, mudahmudahan taufik dan inayah Allah Subhanahu wata’ala selalu bersama kita. Amiin…
Adapun godaan syubhat yang berupa kerancuan berpikir tak kalah dahsyatnya dengan godaan syahwat. Aliran-aliran sesat yang mengatasnamakan Islam bermunculan, kesyirikan dipromosikan tanpa ada halangan, para dukun alias orang pintar dijadikan rujukan, ngalap berkah di kuburan para wali menjadi tren wisata religius (agama), dan praktik bid’ah (sesuatu yang diada-adakan) dalam agama meruak dengan dalih bid’ah hasanah. Semua itu mengingatkan kita akan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
بَادِرُوا بِا عْألَْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِم،ِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bergegaslah kalian untuk beramal, (karena akan datang) fitnah-fitnah (ujian dan cobaan) layaknya potongan-potongan malam. Di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan sore harinya dalam keadaan kafir. Di sore hari dalam keadaan beriman dan keesokan harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya dengan sesuatu dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR. Muslim no.118, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al- Madkhali hafizhahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seorang yang jujur lagi tepercaya telah memberitakan kepada kita dalam banyak haditsnya, termasuk hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (di atas, -pen.) tentang bermunculannya ragam ujian di tengah umat. Sungguh, telah datang berbagai ujian besar yang sangat kuat menghempas akidah dan manhaj (prinsip beragama) umat Islam, mencabik-cabik keutuhan mereka, menyebabkan pertumpahan darah antarmereka, dan menjatuhkan kehormatan mereka. Bahkan, benarbenar telah menjadi kenyataan (pada umat ini) apa yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْراً بِشِبْرٍ وَذِرَاعاً بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَتَبِعْتُمُوْهُمْ
‘Sungguh kalian akan mengikuti jalan/jejak orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan Nasrani, -pen.) sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta1. Sampai-sampai jika mereka masuk ke liang binatang dhab (sejenis biawak yang hidup di padang pasir, -pen.) pasti kalian akan mengikutinya’.”
Lebih lanjut, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Saat ini di banyak negeri kaum muslimin muncul berbagai keburukan, seperti komunis, liberal, sekuler, sosialis, dan demokrasi dengan segala perangkatnya. Kelompok sesat Syiah Rafidhah dan Khawarij pun semakin gencar mengembuskan racun-racun yang dahulu mereka sembunyikan. Sebagaimana pula telah muncul kelompok sesat Qadiyaniah dan Bahaiah.” (Haqiqah al-Manhaj al- Wasi’ ‘Inda Abil Hasan, hlm. 2)
Di era globalisasi modern ini, keberadaan ujian syahwat dan syubhat semakin mengglobal. Terpaannya pun semakin dahsyat terhadap iman dan jiwa seseorang. Bagaimana tidak?! Ragam godaan syahwat dan syubhat dari manca negara dengan mudah dapat disaksikan di berbagai kanal televisi. Terlebih lagi di internet, semuanya dapat diakses secara bebas dan mudah. Bahkan, di dunia maya, semua orang—termasuk “pegiat dakwah”—dapat berkenalan dan bertemandengan siapa saja secara bebas dalam ajang FB (facebook) yang mengerikan itu. Para pencinta syahwat terfasilitasi untuk mengumbar syahwatnya. Demikian pula para penjaja syubhat terfasilitasi untuk menjajakan syubhatnya. Betapa banyak kasus perselingkuhan, perceraian, dan kasus-kasus rumah tangga lainnya terjadi akibat pertemanan bebas di facebook. Betapa banyak pula orangorang yang sebelumnya istiqamah di atas manhaj yang lurus menjadi melenceng akibat pertemanan bebas di facebook itu. Wallahul musta’an.
Akhir kata, semoga Allah Subhanahu wata’ala  menganugerahkan kesabaran diri kepada kita sehingga dimudahkan untuk istiqamah di atas kebenaran kala ujian dan coban menerpa. Amiin, Ya Mujibas sailin….

Kamis, 14 Agustus 2014

MOTIVASI

Tidak ada komentar:
Kehidupan dunia ini seakan redup jika tak ada keindahan di dalamnya. Kata mutiara yang keluar dari setiap manusia ialah motivasi kehidupan bersifat nyata ketika hidup dirundung kesedihan. Setiap kata bijak bisa menjadi lumbung semangat bagi seseorang yang sedang terpuruk. Bagaimana pun juga, hidup ini ada senang dan susah, dalam setiap proses kehidupan ini harus kita lalui dengan bijak, seperti mutiara yang takkan pernah pudar cahayanya untuk menyinari lautan.

Kehidupan yang serba berubah-ubah ini menuntut kita untuk selalu konsisten melakukan hal-hal yang baik agar selalu menjadi manusia yang lebih baik setiap saat. Ya, terkadang masalah bisa membuat kita terbebani dan terpuruk, namun memang disitulah letak dimana kita menguji kesabaran dan bangkit kembali dengan semangat baru dan kerja keras untuk menjadi sang pemenang. Karena, kehidupan seperti sebuah balapan lari yang kemenangan bisa diraih oleh orang yang telah tertatih-tatih terlebih dahulu saat latihan dan lalu merasakan manfaatnya sehingga menjadi sang juara sejati.

Tak bisa dipungkiri lagi bahwa hati setiap orang itu berbeda. Ada yang mudah menerima kenyataan hidup dengan bahagia, ada juga yang sulit menerimya. Namun tentunya berpikiran positif menjadi cara ampuh mengatasi segala masalah tersebut. Banyak orang berbicara bijak karena ingin bangkit dari kegagalan, namun nyatanya kegagalan terus menghampirinya karena tak ada usaha yang nyata, hanya sebatas berpikir dan berucap, lalu tidak mengambil tindakan. Terlepas dari bagaimana hal tersebut, motivasi yang bijak memang sangat dibutuhkan setiap manusia untuk mengarungi kerasnya hidup ini,

Jumat, 08 Agustus 2014

ENERGI SEDEKAH

Tidak ada komentar:
ENERGI SEDEKAH
Energi sedekah sangat berpengaruh luar biasa bagi pelaku dan penerimanya, jika kita mengulurkan tangan memberikan bantuan sedekah dengan ikhlas kepada orang lain, maka antara kita dengan yang menerima bantuan sedekah sama-sama tebentuk sebuah energi positif, yang secara umum bisa dikatakan bahwa sedekah dapat mempererat silaturahmi.

Makna sedekah adalah cinta kasih kepada sesama, barangkali yang demikian itulah sehingga agama dan aliran kepercayaan manapun mengenal dan melakukan sedekah. Begitu pula orang-orang atheis, penganut animisme maupun dinamisme juga melakukan perbuatan mulia yang dinamakan sedekah tersebut.

Terlepas dari syariat agama, secara fitrah kita mendambakan cinta kasih dari sesama manusia. Sebaliknya secara naluri kita akan sedih jika orang lain membenci atau memusuhi kita. Wujud dan cinta kasih dalam islam adalah sedekah, dimana sedekah menyimpan misteri dan membangkitkan energi yang luar biasa.

Anak adam yang memberikan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahui lebih kuat dari seluruh ciptaan Tuhan. Bersedekah dengan tangan kanan dan tangan kiri tidak tahu yang berarti bersedekah tanpa mengharapkan apapun, tanpa pamer, niatnya sangat bersih dan ikhlas hanya mengharap ridha Alloh SWT saja. Inilah energi sedekah yang luar biasa.

Masih banyak orang yang belum bisa melakukan hal tersebut, sedekah yang dilakukan masih mengandung unsur hawa nafsu, kecenderungan ingin dipuji, ingin pamer dan ingin mendapat balasan dari yang menerimanya. Sedekah yang demikian itulah yang kurang dapat memberikan kekuatan energi bagi pemberi maupun yang menerimanya.

"Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik. Dan Alloh akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesaalahmu, dan Alloh mengetahui apa yang kamu kerjakan."    QS.al-Baqarah 271.

SEDEKAH

Tidak ada komentar:

Minta Didoakan Saat Memberikan Sedekah, Bolehkah?

Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Di antara kebiasaan sebagian orang saat memberikan sedekah kepada fakir miskin atau anak yatim, ia meminta didoakan. Beragam cara meyerahkan sedekah tersebut. Dan beragam pula isi doa yang diminta, dari kebaikan urusan dunia sampai urusan akhirat. Apakah meminta didoakan semacam ini dibolehkan?
Jika permintaan tersebut adalah sesuatu yang biasa, artinya tidak ada unsur penghinaan dan menyusahkan yang diberi maka tidak mengapa. Karena terdapat dalil yang menjelaskan bahwa orang yang bersedekah itu didoakan kebaikan untuknya.
Allah Ta'ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Taubah: 103)
Di dalam shahihain, dari hadits Abdullah bin Abi Aufa: Apabila ada satu kaum datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan membawa sedekahnya, maka beliau berdoa: Allaahumma Shalli 'Alaihim (Ya Allah limpahkan shalawat atas mereka.) lalu datanglah ayahku, Abu Aufa dengan membawa sedekahnya, lalu Nabi berdoa:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى
"Ya Allah, limpahkan shalawat (ampunan) atas keluarga Abu Aufa." (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam al-Bukhari membuat bab dalam shahihnya, "Bab shalawat iman dan doanya untuk pemilik shadaqah (pensedekah)". Imam Muslim juga menulis bab atas hadits di atas dengan redaksi: Bab Du'a untuk orang yang datang membawa shadaqah.
Imam al-Nawawi berkata, "Yang masyhur dalam Madhab kami dan madhab para ulama secara keseluruhan, bahwa doa untuk orang yang menyerahkan zakat adalah sunnah mustahabbah."

. . . yang lebih utama dan sempurna orang yang bersedekah tidak meminta didoakan oleh orang yang diberi sedekah; karena hal itu lebih sempurna pahalanya. . .
Meminta didoakan juga tidak bertentangan dengan firman Allah,
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
"Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (QS. Al-Insan: 9)
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini, "Maksudnya: mereka memberi makan kepada orang-orang sementara mereka sendiri membutuhkan dan menyukai makanan terebut. Mereka berkata dengan lisan hal: " Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah." Maksudnya: mengharap pahala dan keridhaan Allah. "Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih," maksudnya: kami tidak meminta balasan (materi) yang setimpal dan tidak berharap kalian berterima kasih kepada kami di depan manusia."
Maka meminta doa tidaklah berlawanan dengan isi ayat di atas karena ia tidak meminta balasan duniawi dan tidak pula pujian serta sanjungan di hadapan manusia.
Namun tentunya, yang lebih utama dan sempurna orang yang bersedekah tidak meminta didoakan oleh orang yang diberi sedekah; karena hal itu lebih sempurna dan mengekalkan pahalanya.
. . . Maka yang paling utama seseorang bersedekah dengan tetap memuliakan orang yang diberi serta tidak membuat mereka susah. Jika perlu sedekah yang dikeluarkannya diantar ke rumah orang yang diberi. . .
Jika Permintaan Tersebut Menyusahkan
Terkadang orang yang memberikan sedekah kepada orang miskin atau anak yatim mengumpulkan mereka di satu majelis dan meminta mereka duduk lama di situ untuk melantunkan zikir dan doa-doa kebaikan untuk dirinya. Jika demikian, maka permintaan tersebut bisa berakibat menghinakan kaum fuqara' dan yatama di hadapan manusia, sehingga orang-orang melihat mereka sebelah mata. Juga membuat mereka susah karena harus duduk lama dan menunggu agar dapat sedekah. Jika ini yang terjadi, maka meminta didoakan dengan cara seperti ini dilarang berdasarkan firman Allah Ta'ala,

قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
"Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun." (QS. Al-Baqarah: 263)
Sesungguhnya megeluarkan sedekah akan mendatangkan pahala yang banyak dan ganjaran yang besar selama tidak diiringi dengan sesuatu yang menyakiti dan menyusahkan orang yang diberi. Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.i" (QS. Al-Baqarah: 262)
Maka yang paling utama seseorang bersedekah dengan tetap memuliakan orang yang diberi serta tidak membuat mereka susah. Jika perlu sedekah yang dikeluarkannya diantar ke rumah orang yang diberi. Ia tidak boleh menyusahkan dan membebani mereka doa kebaikan untuknya agar lebih sempurna pahala sedekahnya. Sebaiknya ia berdo'a sendiri kepada Allah dengan menjadikan sedekahnya tersebut sebagai wasilah. Allah Ta'ala A'lam.
SEMOGA BERMANFAAT  :-)

HIKMAH TURUNYA AL QUR'AN

Tidak ada komentar:
HIKMAH TURUNYA ALQUR'AN
Seperti yang diketahui bersama, bahwa Al-Quran ditrunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dan sebuah surat atau berupa surat pendek secara lengkap dan penyampaian Al-Quran secara keseluruhan memamakan waktu hingga 23 tahun, yakni 13 tahun ketika Nabi Muhammad masih diberada di Makkah dan 10 tahun Nabi ketika di Madinah. 
Dalam ktab al-itqan, proses turunya Al Qur'an ini sebagian ulama memperkirakan lamanya Al-Quran diturunkan itu dua puluh tahun. Sebagian lagi memperkirakan selama dua puluh lima tahun, Perbedaab ini terjadi karena mereka dalam memperkirakan lamanya Rasulullah tinggal di Mekkah setelah di utus Allah, Apakah tiga belas tahun atau dua belas tahun?, Namun para Ulama sepakat mengenai bahwa Rasul tinggal di Madinah selama sepuluh tahun.
Selama itulah Al-Quran diturun secara berangsur-angsur, dan memiliki beberapa hikmah yang besar. Berikut ini beberapa hikmahnya.
Hikmah Turunnya Al-Quran
Hikmah Diturunkan Al-Quran Secara Berangsur-angsur
1. Untuk Meneguhkan Hati Nabi Dalam Melakukan Tugas Sucinya.
Meski Ia dalam melakukan tugasnya menghadapi beberapa hambatan dan tantangan yang beragam macam. Demikian pula untuk menghibur Nabi pada saat-saat sedang menghadapi kesulitan,
kesedihan dan perlawanan dari orangorang kafir supaya bersabar seperti sabarna rasul sebelumnya yang mempunyai keteguhan iman dan semangat.
 Didalam Al-Quran di surat Yasiin ayat 75 , Surat Yunus 65 yang melarang Nabi untuk susah dan sedih karena omongan orang-orang kafir. Di surat Al-An'am ayat 34 mengingatkan Nabi bahwa para Rasul sebelumnya juga menghadapi sikap umatnya yang berkepala batu dan memusuhinya, tetapi mereka tetap sabar, hingga ahirnya datanglah pertolongan Tuhan.
2. Untuk memudahkan Nabi dalam menghafal Al-Quran, seba Ia Ummy (tidak pandai baca dann tulis)
3. Untuk meneguhkan dan menghibur hati umat Islam yang masih hidup di masa Nabi, sebab mereka pada permulaan sudah barang tentu mengalami kepahitan dan getirnya perjuangan menegakkan kebenaran Islam bersama-sama dengan Nabi (surat An-Nur ayat 55). Demikian pula untuk meringankan bagi ummat Islam menghaflkan Al-Quran.
4. Untuk memberi kesempatan sebaik-baiknya kepada ummat Islam dalam meninggalkan sikap mental dan tradisi Jahiliyyah secara berangsur-angsur, karena mereka dan menghayati dan mengamalkan ajaran AL-Quran serta ajaran Nabi secara Step By Step. Sekiranya Al-Quran terutama mengenai hukum-hukum kewajiban dan larangan diberikan sekaligus, pasti akan mendapakan tantangan atau perlawanan yang hebat dari masyarakat yang akibatnya bisa mengganggu berhasilnya misi Nabi Muhammad.
5. Bukti yang pasti bahwa AL-Quran diturunkan dari sisi yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Hikmah Turunnya Al-Quran
 Demikian beberapa hikmah yang dapat di ambil dari turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur,Dari Allah kepada nabi Muhammad untuk Umatnya melalui perantara Malaikat Jibril. Seoga bermanfaat dan menambah wawasan dalam menmagami dan mentadabburi Al-Quran yang suci.

SEMOGA BERMAANFAAT :-)

Manfaat Sedekah di Dunia dan Akhirat

Tidak ada komentar:




Sedekah yang dikeluarkan, baik banyak maupun sedikit akan mendapatkan ganjaran mulia baik ketika di dunia lebih-lebih di akhirat. Diantara manfaatnya di dunia.
Pertama, Membersihkan harta. Rasul bersabda, “Lindungi harta kamu dengan zakat, obati sakitmu dengan sedekah, dan hadapi gelombang hidup dengan tawadhu kepada Allah dan doa.“ (Al Baihaqi). Kedua, Membersihkan-badan.“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan mensucikan mereka“ (Taubah 103). Ketiga, Menolak bencana dan penyakit. Rasul bersabda “Obatilah orang sakit di antara kalian dengan bersedekah.“ (HR.Baihaqi).

Hadist lain, Rasul menegaskan “Sedekah akan menutup tujuh puluh pintu keburukan“ (HR.Thabrani ). Tutur Ibnul Qayyim, “Sedekah mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam menolak bencana, meskipun berasal dari orang yang suka berbuat maksiat atau kezaliman, bahkan dari seorang kafir sekalipun. Hal ini diketahui oleh semua orang. Mereka semua mengakuinya karena telah mencobanya.“Keempat, Memberikan kegembiraan kepada orang-orang miskin dan meringankan kesusahan mereka. Rasul bersabda “Amal yang paling disukai Allah ialah kegembiraan yang engkau masukkan dalam hati seorang Muslim, menghilangkan kesusahannya, melunasi utangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku untuk suatu hajat lebih aku sukai daripada beriktikaf di masjid ini selama sebulan.“ Sebagian ulama menyatakan, “Sedekah merupakan sarana pendekatan diri kepada Allah Ta’ala yang paling utama. Sedekah lebih utama daripada jihad, terlebih bersedekah di saat paceklik melanda,apalagi bersedekah kepada keluarga dan kerabat. Sedekah juga lebih utama daripada haji, karena haji bersifat individual, sedangkaan sedekah bersifat sosial.”

Kelima, Mendatangkan keberkahan harta dan kelapangan rezeki. “Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya.“ (Saba 39). Keenam, Mengundang rezeki. Setiap pagi malaikat berdoa, “Ya Allah berikan ganti kepada orang yang berinfak.“ Rasul bersabda “Undanglah rezeki kalian dengan bersedekah.“ Nabi memberi nasehat kepada Bilal, salah seorang sahabat yang tergolong miskin. “Nafkahkanlah, wahai Bilal, dan jangan takut dikurangi oleh Penguasa Arsy“ (HR.Al Bazzar). “Nafkahkanlah, maka Allah memberi nafkah kepadamu“ (HR.Thabrani). Juga dalam hadis lain Rasul menerangkan, “Sedekah tidak mengurangi harta. Tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba dengan ampunan, melainkan kemuliaan. Dan tidaklah seseorang bertawadhu karena Allah, melainkan Dia meninggikan derajatnya“ (HR.Muslim).

Ketujuh, Menjadi orang yang beruntung. Allah berfirman “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,mereka itulah orang-orang yang beruntung“ (Al Hasyr 9). Rassul SAW bersabda “Memberi sedekah, menganjurkan kebaikan, berbaktti kepada orang tua, dan silaturrahmi dapat mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan,menambah berkah umur, dan menolak kejahatan“ (HR.Abu Na’im). edelapan, Menolak kematian yang buruk. asul bersabda “ Sedekah itu dapat meredam murka Rabb dan menolak kematian yang buruk(HR.Tirmizi).

Manfaatnya di akhirat,antara lain. Pertama, Meringankan hisab. Kedua, Memberatkan timbangan kebaikan (Simak Al Hadid 18 dan al Baqarah 261). Ketiga, Menjadi naungan bagi orang yang melakukannya dari dahsyatnya panas hari kiamat. Rasul bersabda “Setiap orang berada dalam naungan sedekahnya hingga diputuskan perkara diantara manusia.” “Naungan Mukmin pada hari Kiamat adalah sedekahnya,“ kilah Putra Luqman al Hakim. “Keempat, Dimudahkaan melewati ash-shirath. Kelima, Menaikkan derajat di surga. Keenam, Menghapuskan dosa dan kesalahan. Rasul SAW bersabda, “Puasa adalah perisai, dan sedekah itu memadamkan kesalahan seperti air memadamkan api.” Nasehat Luqman al Hakim kepada anaknya, ”Jika engkau melakukan suatu kesalahan, maka bersedekahlah“

Ketujuh, Memadamkan murka Rabb. Rasul bersabda, “Sedekah secara diam-diam dapat meredam murka Rabb.“ Imam Zainal Abidin RA berkata, “Sedekah di malam hari akan memadamkan murka Rabb.“ Adi bin Hatim RA, ia berkata, ‘Aku mendengar Nabi SAW bersabda “Barang siapa diantara kalian mampu berlindung dari neraka walau hanya dengan separoh kurma, maka hendaklah ia melakukannya (bersedekah)“ (HR. Muslim). Rasul SAW berpesan pada kaum wanita, “Wahai kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah beristighfar karena aku melihat kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka“ (HR.Bukhari dan Muslim).

Kedelapan, Salah satu amal yang bisa mendatangkan manfaat setelah seseorang meninggal. Rasul SAW bersabda, “Jika anak Adam mati, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang senantiasa mendoakannya.“ (HR.Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi). Kesembilan, Mendapat pujian dari Allah. Kesepuluh, Mendapat rahmat Allah. Allah berfirman “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebaikan.“ Wallahualam. **
SEMOGA BERMANFAAT
:-)

Doa Memohon Ridho Di Dalam Hati

Tidak ada komentar:

Suatu ketika Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan sebuah doa sangat panjang kepada sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu. Lalu Zaid radhiyallahu ’anhu diperintahkan oleh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam untuk membacanya setiap hari, bahkan diharuskan kepadanya untuk menyuruh keluarganya membaca pula. Doa ini sangat panjang, namun ada bagian sangat penting dari doa tersebut yang berkaitan dengan sikap seorang beriman menghadapi berbagai realitas dunia, baik yang menyenangkan maupun yang terasa pahit. Sebab hidup kita di dunia senantiasa diwarnai oleh dinamika yang berubah-ubah. Kadang kita diberi senang, kadang mengalami derita. Kadang sehat kadang sakit. Kadang menang kadang kalah. Kadang lapang, kadang sempit. Ada perjumpaan, ada perpisahan. Ada kelahiran, ada kematian. Itulah dunia. Semua serba fana, tidak ada yang lestari.


Seorang yang beriman dikagumi oleh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Beliau sedemikian kagum akan karakter mu’min sehingga pernah suatu ketika beliau mengutarakan takjub akan fenomena orang beriman.

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman! Sesungguhnya semua urusannya baik. Dan yang demikian tidak dapat dirasakan oleh siapapun selain orang beriman. Jika ia memperoleh kebahagiaan, maka ia bersyukur. Bersyukur itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa mudharat, maka ia bersabar. Dan bersabar itu baik baginya.” (HR Muslim 5318)

Saudaraku, berdasarkan hadits di atas berarti perjalanan hidup seorang mu’min adalah suatu rentetan penyesuaian sikap terhadap realitas yang Allah taqdirkan atas dirinya. Bila ia mengalami suatu hal yang menyenangkan, kemenangan, memperoleh karunia, nikmat, anugerah atau rezeki, maka pandai-pandailah ia mensyukurinya. Sebaliknya, bila ia ditimpa mudharat, kekalahan, duka, lara, nestapa atau kehilangan sesuatu atau seseorang, maka hendaklah ia kuat-kuat menyabarkan dirinya. Jadi inilah hakikat hidup seorang mu’min. Nah, agar kita memiliki kemampuan untuk senantiasa istiqomah dalam bersyukur kala senang dan bersabar kala sedih, doa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang diajarkan kepada sahabat Zaid radhiyallahu ’anhu mungkin dapat membantu kita.  Doanya adalah sebabgai berikut:


“Ya Allah, aku mohon ridho (dalam hatiku) sesudah keputusanMu, kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang wajahMu dan kerinduan berjumpa denganMu.” (HR Ahmad 20678)

Pertama, kita memohon kepada Allah agar sikap ridho selalu menghiasi hati kita. Ridho di sini maksudnya menghadapi segala keputusan Allah yang telah ditaqdirkan atas diri kita. Biasanya manusia mudah untuk ridho terhadap taqdir Allah yang menyenangkan. Mana ada orang menyesal ketika Allah kasih dia rezeki? Tapi jangan salah, saudaraku. Maksud ridho di sini ialah agar keridhoan itu tampil dalam bentuk pandai bersyukur ketika nikmat menyapa kita. Sebab tidak sedikit manusia yang ketika memperoleh suatu karunia lalu lupa mengkaitkan dengan taqdir Allah. Ia lupa untuk selalu menyadari bahwa tidak ada satupun kenikmatan yang sampai kepada manusia kecuali atas izin Allah. Nikmat mampir bukan karena kehebatan seseorang. Betapapun hebatnya seseorang, namun nikmat tidak akan bisa ia peroleh jika Allah tidak izinkan nikmat itu sampai kepada dirinya. Ia bisa memperoleh nikmat semata-mata karena Allah akhirnya mengizinkan nikmat itu sampai kepada dirinya.

Orang biasanya sulit ridho bila menyangkut taqdir Allah yang sifatnya pahit atau tidak menyenangkan. Oleh karenanya doa di atas juga kita baca saat ditimpa kekalahan, duka, lara, nestapa, mudharat agar keridhoan itu tampil dalam bentuk kemampuan untuk bersikap sabar menghadapi apapun yang Allah taqdirkan. Dan jika itu menyangkut suatu hal yang menyedihkan alias musibah jangan kita jadikan Allah sebagai –maaf- ”kambing hitam”nya. Salah satu bentuk sabar ialah seseorang sanggup mengambil pelajaran dari setiap musibah yang menimpa dirinya. Ia mendahulukan untuk menyalahkan dirinya sendiri daripada mencari fihak lain sebagai sebab musibah tersebut. Lalu ia selanjutnya mengkoreksi diri agar tidak jatuh kepada kekeliruan langkah seperti yang ia telah lakukan sebelumnya.

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Apa saja ni`mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.”  (QS An-Nisa ayat 79)

Kedua, lalu sisa doanya menyangkut perkara di luar dunia. Coba perhatikan:

أَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاءِ وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ
 الْمَمَاتِ وَلَذَّةَ نَظَرٍ إِلَى وَجْهِكَ وَشَوْقًا إِلَى لِقَائِكَ

“Ya Allah, aku mohon ridho (dalam hatiku) sesudah keputusanMu, kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang wajahMu dan kerinduan berjumpa denganMu.” (HR Ahmad 20678)

Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengarahkan Zaid radhiyallahu ’anhu untuk memohon kepada Allah ”…kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang wajah Allah dan kerinduan berjumpa dengan Allah.” Mengapa demikian? Karena, saudaraku, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ingin mengingatkan Zaid radhiyallahu ’anhu dan kita semua untuk memandang bahwa apapun yang kita alami di dunia ini –senang maupun sedih- pada hakikatnya adalah perkara kecil dan tidak berarti jika dibandingkan dengan mengingat Allah Yang Maha Besar, mengingat kematian, mengingat perjumpaan dengan Allah. Dan tidak ada kenikmatan yang lebih utama bagi penghuni surga selain memperoleh kesempatan memandang wajah Allah…!

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
 تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا
 الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا
شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ

“Bila penghuni surga telah masuk surga, maka Allah berfirman (kepada mereka): ”Apakah kalian ingin sesuatu untuk Kutambahkan? ” Maka mereka menjawab: ”Bukankah Engkau telah putihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah masukkan kami ke dalam surga? Dan selamatkan kami dari api neraka?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Maka disingkaplah Al-Hijab (tabir). Sehingga ahli surga tidak memperoleh sesuatu yang lebih mereka sukai daripada memandang wajah Rabb mereka Allah’Azza wa Jalla.” (HR Muslim 266)

Subhanallah…! Penghuni surga memperoleh hak untuk memandang wajah Allah. Suatu kenikmatan yang mengalahkan segenap kenikmatan surga lainnya. Suatu kenikmatan yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai ”tambahan” alias bonus bagi ahli surga.
 


لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

”Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS Yunus ayat 26)

Saudaraku, bagi seorang mu’min yang sibuk berjuang agar kelak di akhirat berhak memandang wajah Allah, tentulah segenap pengalaman hidup di dunia menjadi terasa kecil. Jika ia mendapat nikmat dia tidak akan lupa diri, karena tidak ada apa-apanya dibandingkan nikmat memandang wajah Allah yang ia idam-idamkan selalu. Jika tertimpa kesulitan ia akan bersabar dengan meyakini bahwa semoga kesabaran itu akan menyebabkan ia berhak memandang wajah Allah disamping diselamatkan dari api neraka. Dan tentulah di antara modal utama untuk berhak memandang wajah Allah ialah ia selalu sibuk memastikan bahwa apapun yang ia kerjakan di dunia ini adalah semata-mata demi memperoleh wajah Allah alias ikhlas dalam berbuat apapun. InsyaALlah.-

“Ya Allah, aku mohon ridho (dalam hatiku) sesudah keputusanMu, kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang wajahMu dan kerinduan berjumpa denganMu.” 

SEMOGA BERMANFAAT :-)
JGAN LUPA KUNJUNGI TEMPAT KAMI KAMI SELALU MENUNGU KEDATANGAN ANDA
PINTU KAMI SELAL TERBUKA

Kamis, 07 Agustus 2014

Benarkah

Tidak ada komentar:

Benarkah, tidaklah wajib bagi kita untuk taat kepada pemimpin suatu daerah karena kita warga dari daerah lain??!!

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji hanya milik Allah تعالى, dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah beserta keluarga, para shahabat dan setiap orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du:
Ini adalah pertanyaan dari sebagian Da’i Salafy di Indonesia, kami ajukan kepada Syaikh dan Bapak kami Al-Mujahid Al-‘Allamah Muhammad bin Abdillah Al-Imam حفظه الله:
Salah seorang da’i turotsy di Indonesia berkata: ”Yang diwajibkan taat kepada pemimpin pada suatu daerah hanyalah penduduk daerah tersebut. Adapun warga dari luar daerah tersebut tidaklah diharuskan untuk taat kepada pemimpin tersebut, tidak secara sya’i tidak pula secara undang-undang. Semua warga hanyalah diwajibkan taat kepada pemerintah yang tertinggi, yaitu Presiden. Oleh karena itu, apabila ada warga dari luar daerah pemerintah tersebut membicarakan pemerintah itu maka itu tidak menjadi masalah.”
Pertanyaannya: Apakah perkataan ini benar lalu bisa dijadikan sebagai kaedah yang benar?
Jawaban:
Asy-Syaikh kita Muhammad bin Abdillah Al-Imam حفظه الله menjawab:
Segala puji hanya milik Allah subhanahu wata’ala. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah تعالى, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau, keluarga, dan para shahabat beliau.
Amma ba’du:
Telah diketahui bersama bahwa di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat suatu landasan yang sangat agung, yaitu ketaatan kepada pemerintah (muslim). Dan ketaatan kepada pemerintah tidaklah terbatas kepada pemimpin yang tertingi dan terbesar. Namun ketaatan kepada pemerintah itu mencakup juga ketaatan kepada pemimpin tertinggi dan para pemimpin yang di bawahnya, yang sudah ditunjuk olehnya.
Dalil akan hal ini sangatlah banyak, diantaranya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya serta para pemimpin diantara kalian.” (An Nisa’: 59)
Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barang siapa yang taat kepada pemimpin yang aku tunjuk maka dia telah taat kepadaku, dan barang siapa yang tidak taat kepada pemimpin yang aku tunjuk maka dia tidak taat kepadaku.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abi Hurairah رضي الله عنه.
Maka ketaatan kepada pemerintah itu juga mencakup ketaatan kepada para pemimpin/pejabat yang telah ditunjuk untuk mengurus masyarakat. Dan prinsip inilah yang telah dipahami oleh masyarakat umum.
Adapun orang ini berkata: ”Tidaklah wajib bagi kita untuk taat kepada pemimpin suatu daerah karena kita warga dari daerah lain.” kelihatannya ucapan ini benar. Namun dalam ucapan ini terkandung kecenderungan terhadap hizbiyyah (menyempal dari ajaran islam yang benar), bahkan kecenderungan yang lebih berbahaya dari hizbiyyah. Yaitu mereka berusaha untuk menjatuhkan pemerintah daerah. Karena prinsip itu akan melegalitas para warga dari luar suatu provinsi, atau daerah, atau kota tertentu untuk berkumpul menentang suatu pemimpin di daerah tersebut, dan berusaha untuk menjatuhkan pemimpin tersebut dengan berbagai cara.
Ini adalah suatu perbuatan yang diharamkan.
Meskipun para pemimpin tersebut memiliki kesalahan dan penyelewengan, kita tetap diwajibkan untuk bermu’amalah dengan mereka sesuai dengan koridor syari’at. Bukan dengan cara yang akan memperlebar kericuhan dan kerusakan. Beberapa kesalahan memang muncul dari pemerintah, baik dari kalangan atas maupun bawah -kecuail yang dirahmati oleh Allah ‘Azza wa Jalla-. Kesalahan juga timbul dari dari masyarakat dan warga -kecuail yang dirahmati oleh Allah ‘Azza wa Jalla-.
Dan kesalahan juga timbul para da’i dan ulama yang berloyalitas kepada hizbiyyah, revolusi, dan pemikiran yang diselubungi oleh ketidakjelasan dan keraguan. Berupa upaya-upaya untuk mengganggu keamanan dan ketenangan. Dengan ini mereka akan menanggung dosa yang sangat besar berdasarkan hal-hal yang telah lewat. Misalnya hal-hal yang mereka kejar berupa upaya menjatuhkan para pemimpin dan pejabat, dengan tujuan untuk meraih jabatan mereka dan pengaruh di kalangan masyarakat.
Cara-cara (prinsip) ini sangat berbahaya dan merusak. Prinsip tersebut menyelisihi pokok ajaran ahlus sunnah wal jama’ah.
Diantara pokok ajaran ahlus sunnah wal jama’ah adalah:
  1. Saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. (bukan dalam membuat kerusakan atau memperparahnya)
  2. Berbaiat (mengakui dan siap taat) kepada pemerintah (muslim), dan tidak kepada selainnya. Tidak ada baiat kepada individu tertentu atau kepada pemimpin-pemimpin partai, kelompok, atau sekte.
  3. Menjauhkan diri dari menyusun suatu pemerintahan dalam kondisi pemerintah resmi masih ada.
Menyusun sebuah pemerintahan disaat pemerintah resmi masih berkuasa termasuk dari kaedah yang bid’ah (yang disusupkan dari luar ajaran islam). Dan baiat kepada selain pemerintah yang sah termasuk pokok ajaran hizbiyyah (kelompok yang menyempal dari ajaran islam yang benar). Dan termasuk dari ajaran bid’ah (yang disusupkan ke dalam ajaran islam) adalah menyusun suatu organisasi dan gerakan rahasia yang sering kita temui. (Contohnya: Al-Qaeda dan yang setipe dengannya).
Hanya kepada Allah عز وجلkita meminta pertolongan.

RAHMAT ALLAH

Tidak ada komentar:
 




Setiap kita tentu menginginkan Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akherat. Dan kita pun berharap menjadi orang-orang yang mendapatkan kemenangan besar di sisi Allah Ta’ala. Kenapa kita menginginkan diberikan rahmat oleh Allah Ta’ala? Karena tidak mungkin seorang mendapatkan kebahagiaan yang hakiki tanpa mendapatkan rahmat dari Allah Ta’ala. Seseorang baru bisa dikatakan mendapatkan sebuah kebahagiaan di dunia dan akherat jika ia mendapatkan rahmat Allah Ta’ala. Bahkan tidak ada seorangpun yang bisa memasuki surga Allah melainkan atas rahmat dariNya.

Dari Jabir Radhiallahu Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah memberitahu kami bahwa Malaikat Jibril telah memberitahu Rasulullah, katanya: “Wahai muhammad demi Allah yang mengutusmu sebagai nabi yang besar, sesungguhnya ada seorang hamba Allah yang beribadah selama 500 tahun di atas sebuah bukit yang lebar, panjangnya bukit itu 30 puluh hasta kali 30 hasta dan disekelilingnya ialah air laut yang seluas 4,000 farsakh dari tiap penjuru.
Dan di situ Allah Ta’ala mengeluarkan air selebar satu jari dan dari bawah bukit dan Allah juga telah menghidupkan sebuah pohon delima yang setiap hari mengeluarkan sebiji buah delima. Apabila tiba waktu petang hamba Allah itu pun memetik buah delima itu dan memakannya, setelah itu ia pun beribadah kepada Allah. Dalam ibadahnya, ia meminta kepada Allah supaya mematikannya dalam keadaan bersujud, dan supaya badannya tidak disentuh oleh bumi atau apapun hingga hari berbangkit. Maka Allah Ta’ala pun menerima permintaanya.
Begitulah yang dia lakukan siang dan malam selama 500 tahun. Bahkan malaikat pun terkagum-kagum manakala mendapati orang itu sedang sujud kepada Allah setiap kali malaikat turun dari langit.
Pada hari berbangkit, orang itu pun dihadapkan kepada Allah dan Allah berkata: “Hai Malaikat, masukkanlah hambaku ini ke dalam syurga dengan limpahan rahmat-Ku”.
Tetapi orang itu berkata: “Dengan disebabkan amal ibadahku selama 500 tahun ya Allah”
“Tunggu dulu malaikat!!”, seru Allah, “Hitunglah semua nikmat yang telah kuberikan kepadanya selama dia hidup di dunia, dan hitunglah pula semua amal ibadahnya yang telah dilakukannya selama 500 tahun”.
Malaikat pun kemudian menghitung semua amal ibadahnya selama 500 tahun dan juga semua nikmat yang telah Allah berikan kepada orang shaleh itu.
Dan setelah selesai menghitungnya, malaikat lalu berkata: “Amal ibadah yang dilakukan orang ini siang dan malam selama 500 tahun hanya sanggup membayar nikmat penglihatan sebelah mata saja, sedangkan nikmat-nikmat lain seperti sebelah matanya lagi, pendengaran, kaki, tangan, mulut, hidung, makanan, minuman, udara dan lain-lain belum dihitung”.
Allah pun kemudian berkata: “Masukkanlah orang itu ke dalam neraka”.
Saat orang itu hendak diseret ke neraka oleh Malaikat, ia pun berkata: “Ya Allah, masukkanlah aku ke dalam syurga dengan rahmat-Mu”.
Allah  lalu berkata kepada malaikat: “Bawakan dia kemari!”.
Setelah orang itu dihadapkan kepada Allah, ditanyalah orang itu, “Siapakah yang menjadikan kamu yang dahulunya tidak ada menjadi ada?”. “Engkau ya Allah”, jawab orang itu.
“Apakah itu karena amalmu atau rahmat-Ku?” “Ya Allah, dengan rahmat-Mu”.
“Siapakah yang memberimu kekuatan sehingga kamu mampu beribadah selama 500 tahun?” ”Engkau ya Allah”
“Siapakah yang menempatkan kamu di atas bukit dan mengeluarkan air tawar yang bersih bagimu padahal kamu berada tengah-tengah lautan yang airnya sangat asin?”
“Engkau ya Allah ”
Siapakah yang menumbuhkan pohon delima yang mengeluarkan buahnya setiap hari, sehingga kamu dapat makan darinya, padahal delima itu hanya berbuah setahun sekali? Lalu kamu meminta supaya Aku mematikan kamu dalam keadaan sujud, dan aku kabulkan,  jadi siapakah yang berbuat semua itu?”
“Ya Allah Ya Tuhanku Engkaulah yang melakukannya”.
Lalu Allah pun berkata “Maka semua itu adalah dengan rahmat-Ku dan kini Aku memasukkan kamu ke dalam syurga juga adalah dengan rahmat-Ku”.
Amal yang dibuat oleh seseorang itu tidak akan dapat menyamai walaupun setitik debu sekalipun dengan nikmat yang Allah berikan pada hambaNya, oleh itu janganlah mengharapkan amal kita itu akan dapat memasukkan kita ke dalam syurga Allah, sebaliknya memohonlah dengan rahmatNya.
Sebab hanya dengan rahmat Allah Ta’ala sajalah seseorang itu dapat memasuki syurgaNya. Apabila kita memohon kepada Allah Ta’ala supaya dimasukkan ke dalam syurga dengan rahmatNya maka mintalah supaya Allah memasukkan kita dengan rahmatNya ke dalam syurga Firdaus.
Dalam surah At Taubah ayat 71-72, Allah Ta’ala menawarkan kepada kita bagaimana cara mendapatkan rahmat-Nya dan kemenangan yang besar.
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ {71} وَعَدَ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar”. (At Taubah: 71-72)
Mereka Yang Layak Mendapatkan Kemenangan Dan Rahmat Dari Allah Ta’ala
a.      Orang-Orang Beriman Baik Laki-Laki Maupun Perempuan
Tentunya, mereka adalah mukmin dengan keimanannya yang benar. Dan iman yang benar harus terpenuhi 3 unsur. Pertama, adanya keyakinan kuat dalam hati tentang Allah dan Rasul-Nya. Untuk bisa memilki keyakinan kuat ini harus melewati proses, diantaranya  melalui belajar, membaca dan mengkaji alquran dan as sunnah, sehingga lahirlah sebuah keyakinan yang kuat. Semakin ilmunya banyak, semakin mantap pula keyakinannya terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kedua, mengikrarkan keimanannya dengan lesan. Ketiga, mengamalkan segala konsekuensi keimanan kepada Allah dengan anggota perbuatan. Jika salah satu dari unsur ini tidak ada, maka tidak sah keimanan seseorang. Sepertihalnya orang-orang munafik yang tidak ada keimanan dalam hati mereka. Ataupun mereka yang mengaku beriman tapi tidak mengamalkan konsekuensi daripada keimanannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ (البقرة: 8)
“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian[22],” pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”. (Al Baqarah: 8)
[22]  Hari kemudian ialah: mulai dari waktu mahluk dikumpulkan di padang mahsyar sampai waktu yang tak ada batasnya.
Lalu iman yang bagaimanakah yang bisa membawa kepada Rahmat Allah? Atau dengan kata lain: Iman yang bagaimanakah yang dapat menghindarkan manusia daripada murka dan adzab Allah? Barangkali ayat di bawah ini dapat menjawab pertanyaan ini. Firman Allah Ta’ala,
“Orang-orang yang beriman dan mereka tidak mencampurkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan (daripada siksaan Allah) dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Al-An’aam:82)
Berdasarkan ayat ini jelaslah bahwa hanya iman yang murni dan tidak bercampur syirik saja yang boleh menjamin seseorang mendapat Rahmat Allah Ta’ala.
b. Mukmin Yang Saling Tolong Menolong Antar Sesamanya
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا، وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu Anhu dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Orang mukmin itu bagi mukmin lainnya seperti bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Kemudian Nabi Muhammad menggabungkan jari-jari tangannya”. (HR. Bukhari-Muslim)
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إذَا اشْتَكَى شَيْئًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Dari Nu’man bin Basyir Radhiallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih, sayang dan kecenderungan jiwa (simpati) seperti perumpamaan jasad/tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh akan merasakannya, yaitu tidak bisa tidur dan (sakit) demam”. (HR. Bukhari-Muslim)
Perumpamaan orang mukmin dengan orang mukmin lainnya, dimana mereka bagai sebuah bangunan gedung yang unsur-unsurnya tertata kait-mengait dan saling memperkuat maka komunitas mukmin haruslah bersedia saling tolong menolong, saling membela, saling mendukung dan saling memperkuat dalam menghadapi segala kemaslahatan, baik yang bersifat lokal dan interlokal. Demikian pula kaum muslimin ketika tangan mereka saling merapat, kemampuan mereka saling membantu, jiwa mereka saling mencintai, masyarakat mereka saling mengikat, maka mereka bertambah kuat dan akan menciptakan kemuliaan yang megah. Sementara yang terjadi sekarang adalah sebaliknya, kaum muslimin saling berselisih paham sehingga lemah dan tidak mempunyai kekuatan.
Mari kita perhatikan peristiwa sehari-hari. Ketika kaki tersandung batu, seluruh bagian tubuh bersimpati dan empati. Otak memerintahkan kaki ‘tuk berhenti berjalan, mata berkaca-kaca, lisan membaca istirjâ‘ (innâ lillâhi…), bibir melengkung ke bawah bak busur panah, tangan pun turut serta memegang dan memijit dengan penuh telaten. Hebatnya, semua itu terjadi secara otomatis. Begitulah sunnatullah berjalan..
Begitulah seharusnya ketika melihat saudara-saudara kita di Palestina, Irak, Suriah dan sebagainya sedang dalam keadaan terjajah dan sempit, selayaknya kita ikut merasakan sakit yang mereka rasakan. Kita harusnya peduli dengan urusan dunia islam khususnya terkait dengan musibah-musibah yang menimpa kaum muslimin. Janganlah kita berpecah belah hanya karena berbeda organisasi, daerah dan sebagainya.
c. Mereka Yang Memerintahkan Kepada Kebaikan Dan Mencegah Kemunkaran
Islam adalah sebuah konsep yang mutlak kebenarannya, tidak ada yang kurang atau lebih. Sebuah konsep yang meliputi semua aspek kehidupan, tidak ada satu persoalanpun yang tidak dibahas dalam islam. Karena ia berasal dari sang pencipta yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tetapi apakah konsep yang luar biasa ini bisa dipahami seseorang tanpa dakwah? Tidak bisa. Sebab, seorang bisa mengenal dan komitmen dengan islam karena dakwah. Seorang bisa memperjuangkan islam bahkan mengorbankan segala yang dimilikinya termasuk harta dan jiwanya sebab adanya dakwah islam yang benar.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران: 104)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imran: 104)
[217]  Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (آل عمران: 110)
 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Ali Imran: 110) 
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ )فصلت: 33(
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fusshilat: 33)
Sifat Umat Terbaik
Allah Ta’ala berfirman: Kuntum khaira ummah ukhrijat li al-nâs (kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia). Menurut sebagian mufassir, orang yang dimaksud-kan ayat ini adalah para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Bahwa mereka termasuk dalam cakupan ayat ini, memang tidak salah. Namun bukan berarti hanya dibatasi hanya untuk mereka. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir, ayat bersifat umum untuk seluruh umat. Pendapat yang sama juga dikemukakan Fakhruddin al-Razi.
Kesimpulan tersebut lebih bisa diterima. Pasalnya, para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mendapat predikat sebagai khayra ummah (sebaik-baik umat) bukan tanpa sebab. Predikat itu dilekatkan kepada mereka lantaran memiliki sifat sebagaimana digambarkan dalam frasa sesudahnya. Jika demikian halnya, maka siapa pun dapat meraih predikat tersebut asalkan memiliki sifat yang sama.
Sifat itu disebutkan dalam frasa sesudahnya. Pertama: ta’murûna bi al-ma’rûf wa tan-hawna ‘an al-munkar(menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar). Secara bahasa, kata ma’ruf berarti perkara yang diketahui kebaikannya. Sedangkan munkar adalah segala yang diingkari kebaikannya. Setelah Islam datang, standar baik dan buruk (al-khayr dan al-syarr) pun didasarkan kepada Islam. Sehingga al-ma’ruf adalah segala hal yang dinyatakan baik dan terpuji oleh syara’. Sebaliknya, al-munkar adalah yang dikatagorikan oleh syara’ sebagai perkara yang buruk dan tercela.
Jika ada orang yang mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan perkara ma’ruf lainnya, bisa dikatakan sebagai orang yang baik. Demikian juga orang yang menjauhi zina, riba, judi, dan perkara mungkar lainnya. Akan lebih baik lagi jika dia juga mengajak orang lain melakukan hal yang sama. Saat itu dia bukan hanya menjadi orang baik, namun menjadi sebaik-baik orang. Jika dilakukan oleh umat, maka umat itu pun berhak menyandang status khairu ummah.
Aktivitas amar ma’ruf nahi munkar ini tidak hanya bermanfaat bagi umat tersebut, namun juga bagi seluruh manusia yang diajaknya. Itulah di antara rahasia disebutkannya: ukhrijat li al-nâs (yang dilahirkan untuk manusia). Artinya, umat terbaik itu ditujukan buat seluruh manusia.
Keduawa tu’minûna bil-Lâh (dan beriman kepada Allah). Mereka juga meyakini aqidah Islam. Sebagaimana dipaparkan al-Alusi dan al-Baidhawi, maksud beriman kepada Allah adalah beriman kepada semua perkara yang diwajibkan untuk diimani. Apabila mereka mengimana semua perkara itu, maka keimanannya dapat dianggap. Sebaliknya, jika ada salah satu yang tidak diimani, maka tidak layak disebut telah beriman kepada Allah Ta’ala.
Itulah dua sifat yang harus dimiliki umat ini untuk meraih predikat khayru ummah. Pertama, menerapkan syariah dan mendakwahkannya kepada selu-ruh manusia; dan kedua ber-aqidah Islam dengan keimanan yang benar dan total.
Kendati demikian bagus janji Allah Ta’ala di atas, tidak semua mereka mau beriman. Bahkan mereka dikabarkan: minhum al-Mu’minûn wa aktsaruhum al-fâsiqûn (di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik).
Kaum Ahli Kitab adalah yang paling mengetahui kebenaran Islam. Sebab, dalam kitab-kitab mereka telah diberitakan tentang kedatangan nabi terakhir yang akan diutus Allah. Mereka juga diberitahu mengenai ciri-ciri nabi yang akan diutus sehingga mereka mengenal benar nabi tersebut. Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءهُمْ وَإِنَّ فَرِيقاً مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui”. (Al-Baqarah: 146)
Namun amat disayangkan, pengetahuan mereka terhadap Rasulullah tidak membuat mereka beriman. Di antara mereka memang ada yang mau beriman sehingga menyandang status Mukmin. Seperti Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Syu’bah, dsb. Akan tetapi sebagian besar di antara mereka justru fasik. Sebagaimana dijelaskan al-Zamakhsyari dan al-Baidhawi, kata fasik dalam ayat ini bermakna membangkang dalam kekufuran. Lebih dari itu, mereka juga menyembunyikan kebenaran (Al-Baqarah: 146), menghalangi manusia dari jalan yang Islam (Ali Imran: 99)
d.      Mendirikan Shalat Dan Menunaikan Zakat
Shalat dan zakat keduanya menjadi rukun islam. Bahkan kedudukan shalat lima waktu dalam agama ini adalah ibarat tiang penopang dari suatu kubah atau kemah. Tiang penopang yang dimaksud di sini adalah tiang utama. Artinya jika tiang utama ini roboh, maka tentu suatu kubah atau kemah akan roboh.
Dari Mu’adz bin Jabal, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan
الصلاة عماد الدين، فمن أقامها فقد أقام الدين ومن هدمها فقد هدم الدين
Shalat itu adalah tiang agama (Islam), maka barangsiapa mendirikannya maka sungguh ia telah mendirikan agama (Islam) itu dan barangsiapa merobohkannya maka sungguh ia telah merobohkan agama (Islam) itu”. (HR. Baihaqi)
Sebuah bangunan, setelah adanya pondasi yang merupakan asas sebuah bangunan berdiri, kebutuhan pokok setelah pondasi adalah tiang penyangga, penyokong, soko guru, yang akan menguatkan bangunan tersebut. Apabila sebuah bangunan memiliki 5 buah pilar penyangga, maka jika salah satu dari tiang tersebut roboh maka kekuatan atau kekokohan bangunan tersebut akan berkurang. Demikian seterusnya kekokohan suatu bangunan akan terus berkurang seiring dengan hilangnya pilar-pilar penyangganya satu persatu.
Demikian pula Islam, yang ibaratnya adalah sebuah bangunan dengan syahadat sebagai pondasinya, dakwah dan jihad sebagai atap pelindungnya, dan shalat yang merupakan cerminan syariat Islam sebagai pilar penyangganya. Bila kaum muslimin rajin mendirikan shalat yang 5 waktu secara berjamaah di masjid maka berarti mereka telah mengokohkan pilar-pilar Islam. Sebaliknya, apabila kaum muslimin malas, ogah-ogahan mendirikan shalat fardhu yang lima waktu secara berjamaah di masjid, maka berarti mereka telah melemahkan Islam itu sendiri dengan ‘merobohkan’ pilar-pilarnya. Mungkin ini salah satu maksud Islam itu terhalang oleh orang Islam sendiri, Allahu a’lam. Bila kita pandang dalam lingkup yang lebih kecil, dalam diri seseorang bisa kita lihat parameter “kekuatan” Islamnya. Apakah ia rajin mendirikan shalat fardhu yang lima waktu secara berjamaah di masjid, menambahi dengan mendirikan shalat sunnah, atau sebaliknya ia mengerjakan shalat fardhu lima waktu namun tidak berjamaah dan hanya shalat sendirian di rumah, atau bahkan ia jarang melaksanakan shalat fardhu yang lima waktu, atau bahkan yang paling parah ia tidak mengerjakannya sama sekali. Na’udzuu billahi min dzalik.
Bahkan secara tegas dalam sebuah hadist Rasulullah disebutkan bahwa pembeda antara seorang mukmin dan kafir adalah seorang tersebut meninggalkan shalat atau tidak, yang bisa kita maknai bahwa agama Islam telah roboh dari diri seseorang tersebut bisa seorang tersebut meninggalkan shalat, terlepas dari perbedaan pendapat tentang kafir tidaknya orang tersebut.
Disamping seorang mengeluarkan zakat karena ketaatannya kepada Allah sehingga bisa menjalin kedekatan dirinya pada Allah Ta’ala. Aktifitas shalat dan zakat adalah aktifitas yang memenuhi baiknya “hablum minallah wa hablum minan naas” (hubungan kepada Allah dan hubungan dengan manusia). Shalat mewakili kesholehan vertikal, sedangkan zakat melambangkan kesholehan horizontal.
Mendirikan shalat dan membayar zakat adalah dua karakter orang mukmin yang Allah gambarkan dalam awal surat Al-Mukminuun. Orang mukmin itu beruntung, kata Allah (QS 23: 1). Yaitu yang khusyu’ dalam shalatnya (QS 23: 2), dan juga memelihara shalatnya (QS 23: 9). Orang mukmin yang beruntung itu juga tak lupa membayar zakat (QS 23: 4). Itulah orang yang dijanjikan Surga Firdaus oleh Allah swt (QS 23: 10-11).
Zakat dalam Islam bukan sekedar suatu kewajiban dan kebajikan yang tidak mengikat, tapi merupakan salah satu fondamen Islam yang utama dan mutlak harus dilaksanakan. Zakat dalam Islam adalah hak fakir miskin yang tersimpan dalam kekayaan orang kaya. Hak itu ditetapkan oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Zakat juga merupakan “kewajiban yang sudah ditentukan” yang oleh agama sudah ditetapkan nisab, besar, batas-batas, syarat-syarat waktu dan cara pembayarannya.
Zakat bukan sekedar bantuan sewaktu-waktu kepada orang miskin untuk meringankan penderitaannya, tapi bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan, agar orang miskin menjadi berkecukupan selama-lamanya, mencari pangkal penyebab kemiskinan itu dan mengusahakan agar orang miskin itu mampu memperbaiki sendiri kehidupan mereka.
Begitu banyak kemaslahatan masyarakat yang bisa diwujudkan dengan harta zakat, namun apa daya pelaksanaan kewajiban zakat ini masih sangat minim di kalangan umat Islam. Dua hal yang menyebabkannya: pertama, karena ketidaktahuan umat mengenai mekanisme zakat ini; dan yang kedua adalah kelemahan ummat dalam mengelolanya.
e.      Mentaati Allah dan Rasul-Nya
Sifat selanjutnya adalah taat kepada Allah dan Rasul-nya. Cara mentaati Allah Ta’ala adalah dengan sikap “sami’na wa atho’na”, dan dengan mengerjakan seluruh perintah-Nya secara kaffah (menyeluruh).
Sikap “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taat) Allah inginkan dalam surat An-Nur ayat 51. “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (An Nuur: 51)
Sikap itu mencerminkan semangat menyambut seruan yang tinggi. Berbeda dengan jawaban orang yang tidak beriman dari kalangan Bani Israil yang menjawab seruan dengan “Sami’na wa ashoina” (Kami mendengar tetapi tidak mentaati). (Al Baqarah: 93)
Selain itu dalam rangka taat pada Allah dan Rasul-Nya, kita harus berIslam secara kaffah (menyeluruh). Dengan begitu, kita mentaati semua perintah Allah – menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya – secara keseluruhan tanpa menyeleksi dan meninggalkan sebagian perintah dengan sengaja.
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu”. (Al-Baqarah: 208)
Taat secara keseluruhan lah yang Allah inginkan. Allah mencela orang yang taat dengan tidak utuh (setengah-setengah).
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (setengah hati); maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang (kekafiran). Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”. (Al Hajj: 11)
Kenapa frasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya diletakkan diakhir? Apa rahasianya? Karena setiap ucapan, gerakan dan aktivitas kita semuanya harus berlandaskan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Secara jelas, pada ayat 71 di atas, menguraikan keadaan dan karakteristik orang-orang mukmin, yaitu sebagian mereka (mukmin dan mukminat) sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Lima karakteristik mukmin/mukminat inilah yang dalam ayat ini mendapatkan garansi rahmat dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Rahmat yang dalam redaksi ayat ini menggunakan سيرحمهم (akan merahmati mereka), rahmat di sini bukan hanya rahmat di akhirat, tetapi melingkupi juga rahmat di dunia dan akhirat.
Dan rahmat terbesar antara lain adalah kenikmatan berhubungan dengan Allah dan rahmat ketenangan batin. Kenikmatan di dunia bentuknya sangat bervariasi, dari indahnya hidup berumah tangga, hingga nikmat dan berkahnya rizki yang melimpah. Begitupun rahmat di akhirat yang sudah pasti sulit untuk diungkapkan dan digambarkan, yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak terdengar sebelumnya oleh telinga, dan atau bahkan tidak terlintas dalam benak pikiran manusia.
Selanjutnya, ayat 72 menjanjikan syurga kepada mukmin lelaki dan mukmin perempuan yang diberikan gambaran bahwa syurga itu di bawahnya mengalir sungai-sungai, orang yang di syurga itu kekal di dalamnya, dan mukmin-mukminat juga diberikan tempat-tempat yang indah di surga ‘Adn. ‘Adn berarti kemantapan dan kekekalan. Janji Allah ini benar ditujukan kepada orang mukmin lelaki dan mukmin perempuan yang memiliki kriteria pada ayat 71. Ayat ini di akhiri dengan redaksi ورضوان من الله أكبر ذالك هو الفوز العظيم (Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar). Ridhwan terambil dari ridha yang berarti kepuasan hati. Redaksi ridhwânun min Allah, ini seolah memberikan informasi bahwa keridhaan Allah itu sungguh sangat amat besar, bahkan keagungannya tidak akan tertangkap oleh indra manusia. Kemudian, di penghujung ayat menjelaskan bahwa keridhaan dari Allah akan melahirkan kesuksesan yang besar pula.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ لِأَهْلِ الْجَنَّةِ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَقُولُونَ لَبَّيْكَ رَبَّنَا وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ فَيَقُولُ هَلْ رَضِيتُمْ فَيَقُولُونَ وَمَا لَنَا لَا نَرْضَى يَا رَبِّ وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ فَيَقُولُ أَلَا أُعْطِيكُمْ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُونَ يَا رَبِّ وَأَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُ أُحِلُّ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu Anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: Allah berfirman kepada ahli surga, “Wahai ahli surga!” Mereka menjawab, “Kami patuh kepada Engkau ya Tuhan kami.” Allah berkata, “Apakah kamu sekalian telah ridha?” Mereka menjawab, “Bagaimanakah kami tidak akan ridha sedangkan Kami telah Engkau karuniakan sesuatu yang belum pernah Engkau karuniakan kepada siapa pun?” Allah berkata lagi, “Aku akan memberikan kepadamu sesuatu yang lebih utama dari apa yang telah Kuberikan.” Mereka bertanya, “Ya Tuhan kami pemberian apakah yang lebih utama itu?” Allah berkata, “Aku telah meridhai kamu sekalian dan tidak akan memurkaimu sesudah itu selama-lamanya”. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i)
Wallahu Ta’ala A’lam
Semoga bermaanfaat :-)

petunjuk arah

 
back to top