Kamis, 07 Agustus 2014

RAHMAT ALLAH

Tidak ada komentar:
 




Setiap kita tentu menginginkan Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akherat. Dan kita pun berharap menjadi orang-orang yang mendapatkan kemenangan besar di sisi Allah Ta’ala. Kenapa kita menginginkan diberikan rahmat oleh Allah Ta’ala? Karena tidak mungkin seorang mendapatkan kebahagiaan yang hakiki tanpa mendapatkan rahmat dari Allah Ta’ala. Seseorang baru bisa dikatakan mendapatkan sebuah kebahagiaan di dunia dan akherat jika ia mendapatkan rahmat Allah Ta’ala. Bahkan tidak ada seorangpun yang bisa memasuki surga Allah melainkan atas rahmat dariNya.

Dari Jabir Radhiallahu Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah memberitahu kami bahwa Malaikat Jibril telah memberitahu Rasulullah, katanya: “Wahai muhammad demi Allah yang mengutusmu sebagai nabi yang besar, sesungguhnya ada seorang hamba Allah yang beribadah selama 500 tahun di atas sebuah bukit yang lebar, panjangnya bukit itu 30 puluh hasta kali 30 hasta dan disekelilingnya ialah air laut yang seluas 4,000 farsakh dari tiap penjuru.
Dan di situ Allah Ta’ala mengeluarkan air selebar satu jari dan dari bawah bukit dan Allah juga telah menghidupkan sebuah pohon delima yang setiap hari mengeluarkan sebiji buah delima. Apabila tiba waktu petang hamba Allah itu pun memetik buah delima itu dan memakannya, setelah itu ia pun beribadah kepada Allah. Dalam ibadahnya, ia meminta kepada Allah supaya mematikannya dalam keadaan bersujud, dan supaya badannya tidak disentuh oleh bumi atau apapun hingga hari berbangkit. Maka Allah Ta’ala pun menerima permintaanya.
Begitulah yang dia lakukan siang dan malam selama 500 tahun. Bahkan malaikat pun terkagum-kagum manakala mendapati orang itu sedang sujud kepada Allah setiap kali malaikat turun dari langit.
Pada hari berbangkit, orang itu pun dihadapkan kepada Allah dan Allah berkata: “Hai Malaikat, masukkanlah hambaku ini ke dalam syurga dengan limpahan rahmat-Ku”.
Tetapi orang itu berkata: “Dengan disebabkan amal ibadahku selama 500 tahun ya Allah”
“Tunggu dulu malaikat!!”, seru Allah, “Hitunglah semua nikmat yang telah kuberikan kepadanya selama dia hidup di dunia, dan hitunglah pula semua amal ibadahnya yang telah dilakukannya selama 500 tahun”.
Malaikat pun kemudian menghitung semua amal ibadahnya selama 500 tahun dan juga semua nikmat yang telah Allah berikan kepada orang shaleh itu.
Dan setelah selesai menghitungnya, malaikat lalu berkata: “Amal ibadah yang dilakukan orang ini siang dan malam selama 500 tahun hanya sanggup membayar nikmat penglihatan sebelah mata saja, sedangkan nikmat-nikmat lain seperti sebelah matanya lagi, pendengaran, kaki, tangan, mulut, hidung, makanan, minuman, udara dan lain-lain belum dihitung”.
Allah pun kemudian berkata: “Masukkanlah orang itu ke dalam neraka”.
Saat orang itu hendak diseret ke neraka oleh Malaikat, ia pun berkata: “Ya Allah, masukkanlah aku ke dalam syurga dengan rahmat-Mu”.
Allah  lalu berkata kepada malaikat: “Bawakan dia kemari!”.
Setelah orang itu dihadapkan kepada Allah, ditanyalah orang itu, “Siapakah yang menjadikan kamu yang dahulunya tidak ada menjadi ada?”. “Engkau ya Allah”, jawab orang itu.
“Apakah itu karena amalmu atau rahmat-Ku?” “Ya Allah, dengan rahmat-Mu”.
“Siapakah yang memberimu kekuatan sehingga kamu mampu beribadah selama 500 tahun?” ”Engkau ya Allah”
“Siapakah yang menempatkan kamu di atas bukit dan mengeluarkan air tawar yang bersih bagimu padahal kamu berada tengah-tengah lautan yang airnya sangat asin?”
“Engkau ya Allah ”
Siapakah yang menumbuhkan pohon delima yang mengeluarkan buahnya setiap hari, sehingga kamu dapat makan darinya, padahal delima itu hanya berbuah setahun sekali? Lalu kamu meminta supaya Aku mematikan kamu dalam keadaan sujud, dan aku kabulkan,  jadi siapakah yang berbuat semua itu?”
“Ya Allah Ya Tuhanku Engkaulah yang melakukannya”.
Lalu Allah pun berkata “Maka semua itu adalah dengan rahmat-Ku dan kini Aku memasukkan kamu ke dalam syurga juga adalah dengan rahmat-Ku”.
Amal yang dibuat oleh seseorang itu tidak akan dapat menyamai walaupun setitik debu sekalipun dengan nikmat yang Allah berikan pada hambaNya, oleh itu janganlah mengharapkan amal kita itu akan dapat memasukkan kita ke dalam syurga Allah, sebaliknya memohonlah dengan rahmatNya.
Sebab hanya dengan rahmat Allah Ta’ala sajalah seseorang itu dapat memasuki syurgaNya. Apabila kita memohon kepada Allah Ta’ala supaya dimasukkan ke dalam syurga dengan rahmatNya maka mintalah supaya Allah memasukkan kita dengan rahmatNya ke dalam syurga Firdaus.
Dalam surah At Taubah ayat 71-72, Allah Ta’ala menawarkan kepada kita bagaimana cara mendapatkan rahmat-Nya dan kemenangan yang besar.
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ {71} وَعَدَ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar”. (At Taubah: 71-72)
Mereka Yang Layak Mendapatkan Kemenangan Dan Rahmat Dari Allah Ta’ala
a.      Orang-Orang Beriman Baik Laki-Laki Maupun Perempuan
Tentunya, mereka adalah mukmin dengan keimanannya yang benar. Dan iman yang benar harus terpenuhi 3 unsur. Pertama, adanya keyakinan kuat dalam hati tentang Allah dan Rasul-Nya. Untuk bisa memilki keyakinan kuat ini harus melewati proses, diantaranya  melalui belajar, membaca dan mengkaji alquran dan as sunnah, sehingga lahirlah sebuah keyakinan yang kuat. Semakin ilmunya banyak, semakin mantap pula keyakinannya terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kedua, mengikrarkan keimanannya dengan lesan. Ketiga, mengamalkan segala konsekuensi keimanan kepada Allah dengan anggota perbuatan. Jika salah satu dari unsur ini tidak ada, maka tidak sah keimanan seseorang. Sepertihalnya orang-orang munafik yang tidak ada keimanan dalam hati mereka. Ataupun mereka yang mengaku beriman tapi tidak mengamalkan konsekuensi daripada keimanannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ (البقرة: 8)
“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian[22],” pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”. (Al Baqarah: 8)
[22]  Hari kemudian ialah: mulai dari waktu mahluk dikumpulkan di padang mahsyar sampai waktu yang tak ada batasnya.
Lalu iman yang bagaimanakah yang bisa membawa kepada Rahmat Allah? Atau dengan kata lain: Iman yang bagaimanakah yang dapat menghindarkan manusia daripada murka dan adzab Allah? Barangkali ayat di bawah ini dapat menjawab pertanyaan ini. Firman Allah Ta’ala,
“Orang-orang yang beriman dan mereka tidak mencampurkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan (daripada siksaan Allah) dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Al-An’aam:82)
Berdasarkan ayat ini jelaslah bahwa hanya iman yang murni dan tidak bercampur syirik saja yang boleh menjamin seseorang mendapat Rahmat Allah Ta’ala.
b. Mukmin Yang Saling Tolong Menolong Antar Sesamanya
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا، وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu Anhu dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Orang mukmin itu bagi mukmin lainnya seperti bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Kemudian Nabi Muhammad menggabungkan jari-jari tangannya”. (HR. Bukhari-Muslim)
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إذَا اشْتَكَى شَيْئًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Dari Nu’man bin Basyir Radhiallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih, sayang dan kecenderungan jiwa (simpati) seperti perumpamaan jasad/tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh akan merasakannya, yaitu tidak bisa tidur dan (sakit) demam”. (HR. Bukhari-Muslim)
Perumpamaan orang mukmin dengan orang mukmin lainnya, dimana mereka bagai sebuah bangunan gedung yang unsur-unsurnya tertata kait-mengait dan saling memperkuat maka komunitas mukmin haruslah bersedia saling tolong menolong, saling membela, saling mendukung dan saling memperkuat dalam menghadapi segala kemaslahatan, baik yang bersifat lokal dan interlokal. Demikian pula kaum muslimin ketika tangan mereka saling merapat, kemampuan mereka saling membantu, jiwa mereka saling mencintai, masyarakat mereka saling mengikat, maka mereka bertambah kuat dan akan menciptakan kemuliaan yang megah. Sementara yang terjadi sekarang adalah sebaliknya, kaum muslimin saling berselisih paham sehingga lemah dan tidak mempunyai kekuatan.
Mari kita perhatikan peristiwa sehari-hari. Ketika kaki tersandung batu, seluruh bagian tubuh bersimpati dan empati. Otak memerintahkan kaki ‘tuk berhenti berjalan, mata berkaca-kaca, lisan membaca istirjâ‘ (innâ lillâhi…), bibir melengkung ke bawah bak busur panah, tangan pun turut serta memegang dan memijit dengan penuh telaten. Hebatnya, semua itu terjadi secara otomatis. Begitulah sunnatullah berjalan..
Begitulah seharusnya ketika melihat saudara-saudara kita di Palestina, Irak, Suriah dan sebagainya sedang dalam keadaan terjajah dan sempit, selayaknya kita ikut merasakan sakit yang mereka rasakan. Kita harusnya peduli dengan urusan dunia islam khususnya terkait dengan musibah-musibah yang menimpa kaum muslimin. Janganlah kita berpecah belah hanya karena berbeda organisasi, daerah dan sebagainya.
c. Mereka Yang Memerintahkan Kepada Kebaikan Dan Mencegah Kemunkaran
Islam adalah sebuah konsep yang mutlak kebenarannya, tidak ada yang kurang atau lebih. Sebuah konsep yang meliputi semua aspek kehidupan, tidak ada satu persoalanpun yang tidak dibahas dalam islam. Karena ia berasal dari sang pencipta yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tetapi apakah konsep yang luar biasa ini bisa dipahami seseorang tanpa dakwah? Tidak bisa. Sebab, seorang bisa mengenal dan komitmen dengan islam karena dakwah. Seorang bisa memperjuangkan islam bahkan mengorbankan segala yang dimilikinya termasuk harta dan jiwanya sebab adanya dakwah islam yang benar.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران: 104)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imran: 104)
[217]  Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (آل عمران: 110)
 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Ali Imran: 110) 
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ )فصلت: 33(
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fusshilat: 33)
Sifat Umat Terbaik
Allah Ta’ala berfirman: Kuntum khaira ummah ukhrijat li al-nâs (kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia). Menurut sebagian mufassir, orang yang dimaksud-kan ayat ini adalah para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Bahwa mereka termasuk dalam cakupan ayat ini, memang tidak salah. Namun bukan berarti hanya dibatasi hanya untuk mereka. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir, ayat bersifat umum untuk seluruh umat. Pendapat yang sama juga dikemukakan Fakhruddin al-Razi.
Kesimpulan tersebut lebih bisa diterima. Pasalnya, para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mendapat predikat sebagai khayra ummah (sebaik-baik umat) bukan tanpa sebab. Predikat itu dilekatkan kepada mereka lantaran memiliki sifat sebagaimana digambarkan dalam frasa sesudahnya. Jika demikian halnya, maka siapa pun dapat meraih predikat tersebut asalkan memiliki sifat yang sama.
Sifat itu disebutkan dalam frasa sesudahnya. Pertama: ta’murûna bi al-ma’rûf wa tan-hawna ‘an al-munkar(menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar). Secara bahasa, kata ma’ruf berarti perkara yang diketahui kebaikannya. Sedangkan munkar adalah segala yang diingkari kebaikannya. Setelah Islam datang, standar baik dan buruk (al-khayr dan al-syarr) pun didasarkan kepada Islam. Sehingga al-ma’ruf adalah segala hal yang dinyatakan baik dan terpuji oleh syara’. Sebaliknya, al-munkar adalah yang dikatagorikan oleh syara’ sebagai perkara yang buruk dan tercela.
Jika ada orang yang mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan perkara ma’ruf lainnya, bisa dikatakan sebagai orang yang baik. Demikian juga orang yang menjauhi zina, riba, judi, dan perkara mungkar lainnya. Akan lebih baik lagi jika dia juga mengajak orang lain melakukan hal yang sama. Saat itu dia bukan hanya menjadi orang baik, namun menjadi sebaik-baik orang. Jika dilakukan oleh umat, maka umat itu pun berhak menyandang status khairu ummah.
Aktivitas amar ma’ruf nahi munkar ini tidak hanya bermanfaat bagi umat tersebut, namun juga bagi seluruh manusia yang diajaknya. Itulah di antara rahasia disebutkannya: ukhrijat li al-nâs (yang dilahirkan untuk manusia). Artinya, umat terbaik itu ditujukan buat seluruh manusia.
Keduawa tu’minûna bil-Lâh (dan beriman kepada Allah). Mereka juga meyakini aqidah Islam. Sebagaimana dipaparkan al-Alusi dan al-Baidhawi, maksud beriman kepada Allah adalah beriman kepada semua perkara yang diwajibkan untuk diimani. Apabila mereka mengimana semua perkara itu, maka keimanannya dapat dianggap. Sebaliknya, jika ada salah satu yang tidak diimani, maka tidak layak disebut telah beriman kepada Allah Ta’ala.
Itulah dua sifat yang harus dimiliki umat ini untuk meraih predikat khayru ummah. Pertama, menerapkan syariah dan mendakwahkannya kepada selu-ruh manusia; dan kedua ber-aqidah Islam dengan keimanan yang benar dan total.
Kendati demikian bagus janji Allah Ta’ala di atas, tidak semua mereka mau beriman. Bahkan mereka dikabarkan: minhum al-Mu’minûn wa aktsaruhum al-fâsiqûn (di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik).
Kaum Ahli Kitab adalah yang paling mengetahui kebenaran Islam. Sebab, dalam kitab-kitab mereka telah diberitakan tentang kedatangan nabi terakhir yang akan diutus Allah. Mereka juga diberitahu mengenai ciri-ciri nabi yang akan diutus sehingga mereka mengenal benar nabi tersebut. Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءهُمْ وَإِنَّ فَرِيقاً مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui”. (Al-Baqarah: 146)
Namun amat disayangkan, pengetahuan mereka terhadap Rasulullah tidak membuat mereka beriman. Di antara mereka memang ada yang mau beriman sehingga menyandang status Mukmin. Seperti Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Syu’bah, dsb. Akan tetapi sebagian besar di antara mereka justru fasik. Sebagaimana dijelaskan al-Zamakhsyari dan al-Baidhawi, kata fasik dalam ayat ini bermakna membangkang dalam kekufuran. Lebih dari itu, mereka juga menyembunyikan kebenaran (Al-Baqarah: 146), menghalangi manusia dari jalan yang Islam (Ali Imran: 99)
d.      Mendirikan Shalat Dan Menunaikan Zakat
Shalat dan zakat keduanya menjadi rukun islam. Bahkan kedudukan shalat lima waktu dalam agama ini adalah ibarat tiang penopang dari suatu kubah atau kemah. Tiang penopang yang dimaksud di sini adalah tiang utama. Artinya jika tiang utama ini roboh, maka tentu suatu kubah atau kemah akan roboh.
Dari Mu’adz bin Jabal, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan
الصلاة عماد الدين، فمن أقامها فقد أقام الدين ومن هدمها فقد هدم الدين
Shalat itu adalah tiang agama (Islam), maka barangsiapa mendirikannya maka sungguh ia telah mendirikan agama (Islam) itu dan barangsiapa merobohkannya maka sungguh ia telah merobohkan agama (Islam) itu”. (HR. Baihaqi)
Sebuah bangunan, setelah adanya pondasi yang merupakan asas sebuah bangunan berdiri, kebutuhan pokok setelah pondasi adalah tiang penyangga, penyokong, soko guru, yang akan menguatkan bangunan tersebut. Apabila sebuah bangunan memiliki 5 buah pilar penyangga, maka jika salah satu dari tiang tersebut roboh maka kekuatan atau kekokohan bangunan tersebut akan berkurang. Demikian seterusnya kekokohan suatu bangunan akan terus berkurang seiring dengan hilangnya pilar-pilar penyangganya satu persatu.
Demikian pula Islam, yang ibaratnya adalah sebuah bangunan dengan syahadat sebagai pondasinya, dakwah dan jihad sebagai atap pelindungnya, dan shalat yang merupakan cerminan syariat Islam sebagai pilar penyangganya. Bila kaum muslimin rajin mendirikan shalat yang 5 waktu secara berjamaah di masjid maka berarti mereka telah mengokohkan pilar-pilar Islam. Sebaliknya, apabila kaum muslimin malas, ogah-ogahan mendirikan shalat fardhu yang lima waktu secara berjamaah di masjid, maka berarti mereka telah melemahkan Islam itu sendiri dengan ‘merobohkan’ pilar-pilarnya. Mungkin ini salah satu maksud Islam itu terhalang oleh orang Islam sendiri, Allahu a’lam. Bila kita pandang dalam lingkup yang lebih kecil, dalam diri seseorang bisa kita lihat parameter “kekuatan” Islamnya. Apakah ia rajin mendirikan shalat fardhu yang lima waktu secara berjamaah di masjid, menambahi dengan mendirikan shalat sunnah, atau sebaliknya ia mengerjakan shalat fardhu lima waktu namun tidak berjamaah dan hanya shalat sendirian di rumah, atau bahkan ia jarang melaksanakan shalat fardhu yang lima waktu, atau bahkan yang paling parah ia tidak mengerjakannya sama sekali. Na’udzuu billahi min dzalik.
Bahkan secara tegas dalam sebuah hadist Rasulullah disebutkan bahwa pembeda antara seorang mukmin dan kafir adalah seorang tersebut meninggalkan shalat atau tidak, yang bisa kita maknai bahwa agama Islam telah roboh dari diri seseorang tersebut bisa seorang tersebut meninggalkan shalat, terlepas dari perbedaan pendapat tentang kafir tidaknya orang tersebut.
Disamping seorang mengeluarkan zakat karena ketaatannya kepada Allah sehingga bisa menjalin kedekatan dirinya pada Allah Ta’ala. Aktifitas shalat dan zakat adalah aktifitas yang memenuhi baiknya “hablum minallah wa hablum minan naas” (hubungan kepada Allah dan hubungan dengan manusia). Shalat mewakili kesholehan vertikal, sedangkan zakat melambangkan kesholehan horizontal.
Mendirikan shalat dan membayar zakat adalah dua karakter orang mukmin yang Allah gambarkan dalam awal surat Al-Mukminuun. Orang mukmin itu beruntung, kata Allah (QS 23: 1). Yaitu yang khusyu’ dalam shalatnya (QS 23: 2), dan juga memelihara shalatnya (QS 23: 9). Orang mukmin yang beruntung itu juga tak lupa membayar zakat (QS 23: 4). Itulah orang yang dijanjikan Surga Firdaus oleh Allah swt (QS 23: 10-11).
Zakat dalam Islam bukan sekedar suatu kewajiban dan kebajikan yang tidak mengikat, tapi merupakan salah satu fondamen Islam yang utama dan mutlak harus dilaksanakan. Zakat dalam Islam adalah hak fakir miskin yang tersimpan dalam kekayaan orang kaya. Hak itu ditetapkan oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Zakat juga merupakan “kewajiban yang sudah ditentukan” yang oleh agama sudah ditetapkan nisab, besar, batas-batas, syarat-syarat waktu dan cara pembayarannya.
Zakat bukan sekedar bantuan sewaktu-waktu kepada orang miskin untuk meringankan penderitaannya, tapi bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan, agar orang miskin menjadi berkecukupan selama-lamanya, mencari pangkal penyebab kemiskinan itu dan mengusahakan agar orang miskin itu mampu memperbaiki sendiri kehidupan mereka.
Begitu banyak kemaslahatan masyarakat yang bisa diwujudkan dengan harta zakat, namun apa daya pelaksanaan kewajiban zakat ini masih sangat minim di kalangan umat Islam. Dua hal yang menyebabkannya: pertama, karena ketidaktahuan umat mengenai mekanisme zakat ini; dan yang kedua adalah kelemahan ummat dalam mengelolanya.
e.      Mentaati Allah dan Rasul-Nya
Sifat selanjutnya adalah taat kepada Allah dan Rasul-nya. Cara mentaati Allah Ta’ala adalah dengan sikap “sami’na wa atho’na”, dan dengan mengerjakan seluruh perintah-Nya secara kaffah (menyeluruh).
Sikap “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taat) Allah inginkan dalam surat An-Nur ayat 51. “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (An Nuur: 51)
Sikap itu mencerminkan semangat menyambut seruan yang tinggi. Berbeda dengan jawaban orang yang tidak beriman dari kalangan Bani Israil yang menjawab seruan dengan “Sami’na wa ashoina” (Kami mendengar tetapi tidak mentaati). (Al Baqarah: 93)
Selain itu dalam rangka taat pada Allah dan Rasul-Nya, kita harus berIslam secara kaffah (menyeluruh). Dengan begitu, kita mentaati semua perintah Allah – menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya – secara keseluruhan tanpa menyeleksi dan meninggalkan sebagian perintah dengan sengaja.
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu”. (Al-Baqarah: 208)
Taat secara keseluruhan lah yang Allah inginkan. Allah mencela orang yang taat dengan tidak utuh (setengah-setengah).
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (setengah hati); maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang (kekafiran). Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”. (Al Hajj: 11)
Kenapa frasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya diletakkan diakhir? Apa rahasianya? Karena setiap ucapan, gerakan dan aktivitas kita semuanya harus berlandaskan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Secara jelas, pada ayat 71 di atas, menguraikan keadaan dan karakteristik orang-orang mukmin, yaitu sebagian mereka (mukmin dan mukminat) sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Lima karakteristik mukmin/mukminat inilah yang dalam ayat ini mendapatkan garansi rahmat dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Rahmat yang dalam redaksi ayat ini menggunakan سيرحمهم (akan merahmati mereka), rahmat di sini bukan hanya rahmat di akhirat, tetapi melingkupi juga rahmat di dunia dan akhirat.
Dan rahmat terbesar antara lain adalah kenikmatan berhubungan dengan Allah dan rahmat ketenangan batin. Kenikmatan di dunia bentuknya sangat bervariasi, dari indahnya hidup berumah tangga, hingga nikmat dan berkahnya rizki yang melimpah. Begitupun rahmat di akhirat yang sudah pasti sulit untuk diungkapkan dan digambarkan, yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak terdengar sebelumnya oleh telinga, dan atau bahkan tidak terlintas dalam benak pikiran manusia.
Selanjutnya, ayat 72 menjanjikan syurga kepada mukmin lelaki dan mukmin perempuan yang diberikan gambaran bahwa syurga itu di bawahnya mengalir sungai-sungai, orang yang di syurga itu kekal di dalamnya, dan mukmin-mukminat juga diberikan tempat-tempat yang indah di surga ‘Adn. ‘Adn berarti kemantapan dan kekekalan. Janji Allah ini benar ditujukan kepada orang mukmin lelaki dan mukmin perempuan yang memiliki kriteria pada ayat 71. Ayat ini di akhiri dengan redaksi ورضوان من الله أكبر ذالك هو الفوز العظيم (Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar). Ridhwan terambil dari ridha yang berarti kepuasan hati. Redaksi ridhwânun min Allah, ini seolah memberikan informasi bahwa keridhaan Allah itu sungguh sangat amat besar, bahkan keagungannya tidak akan tertangkap oleh indra manusia. Kemudian, di penghujung ayat menjelaskan bahwa keridhaan dari Allah akan melahirkan kesuksesan yang besar pula.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ لِأَهْلِ الْجَنَّةِ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَقُولُونَ لَبَّيْكَ رَبَّنَا وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ فَيَقُولُ هَلْ رَضِيتُمْ فَيَقُولُونَ وَمَا لَنَا لَا نَرْضَى يَا رَبِّ وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ فَيَقُولُ أَلَا أُعْطِيكُمْ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُونَ يَا رَبِّ وَأَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُ أُحِلُّ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu Anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: Allah berfirman kepada ahli surga, “Wahai ahli surga!” Mereka menjawab, “Kami patuh kepada Engkau ya Tuhan kami.” Allah berkata, “Apakah kamu sekalian telah ridha?” Mereka menjawab, “Bagaimanakah kami tidak akan ridha sedangkan Kami telah Engkau karuniakan sesuatu yang belum pernah Engkau karuniakan kepada siapa pun?” Allah berkata lagi, “Aku akan memberikan kepadamu sesuatu yang lebih utama dari apa yang telah Kuberikan.” Mereka bertanya, “Ya Tuhan kami pemberian apakah yang lebih utama itu?” Allah berkata, “Aku telah meridhai kamu sekalian dan tidak akan memurkaimu sesudah itu selama-lamanya”. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i)
Wallahu Ta’ala A’lam
Semoga bermaanfaat :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

petunjuk arah

 
back to top