Tahun Baru Hijriyah 1439
1. Penamaan Bulan Ini
Kata Muharram secara bahasa, berarti
diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan bulan Muharram karena
peperangan(jihad) diharamkan pada bulan tersebut”(1); jika
saja jihad yang disyariatkan lalu hukumnya menjadi terlarang pada bulan
tersebut maka hal ini bermakna perbuatan-perbuatan yang secara asal telah
dilarang oleh Allah Ta’ala memiliki penekanan pengharaman untuk lebih dihindari
secara khusus pada bulan ini. Pada bulan ini Allah melarang umatnya untuk tidak
melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Seperti misalnya berperang, seperti yang
telah dilakukan oleh orang-orang kuraisy sebelum datangnya agama Islam.
2. Beberapa Keutamaan
Bulan Muharram
a. Bulan Muharram Merupakan Salah Satu Diantara
Bulan-Bulan Haram
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ
الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ
خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ
كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ
الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah
ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa.” (Q.S. at Taubah :36).
Pada ayat ini menerangkan kepada kita bahwa
setelah penciptaan langit dan bumi Allah menciptakan bulan yang berjumlah 12
bulan yang mana bulan tersebut merupakan bulan tahun Hijriah. Dalam bulan-bulan
tersebut terdapat 4 bulan yang paling istimewa diantara bulan yang lainnya,
salah satunya adalah bulan Muharram. Pada bulan Muharram Allah mengharamkan
umat islam melakukan perbuatan yang dilarang, (membunuh, berperang). Tetapi
disana juga menjelaskan bahwa orang muslim harus memerangi orang kafir yang
selalu mengajak kepada kehancuran. Yang dilakukan orang kafir, adalah bukan karena
ingin merampas harta seperti yang dilakukan sebelum datangnya islam, merebut
kekuasaan, balas dendam seperti yang telah dialami ketika umat islam mengusir
orang kafir untuk meninggalkan Makkah dan Madinah, tetapi mereka menginginkan
agama Islam hancur.
Salah seorang ahli tafsir dari kalangan
tabi’in yang bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh menyatakan,
“Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram
sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan
dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain meskipun secara umum
kezholiman adalah dosa yang besar”(2).
Disinilah yang menjadi pokok pada bulan
Muharram, bahwa diharamkan umat-Nya melakukankan berperang atau membunuh pada
bulan-bulan istimewa tersebut, karena apabila melanggarnya, maka dosanya akan
dilipat gandakan dari bulan-bulan yang lain. Dengan adanya larang tersebut
berarti Allah juga akan memberikan pahala bagi umat-Nya yang mengerjakan alaman
seperti yang disunahkan.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat
Abu Bakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam
menjelaskan keempat bulan haram yang dimaksud :
إِنَّ
الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ
وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya zaman itu berputar
sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi.
Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat
empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah,
Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang
terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan
Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” [ HR.
Bukhari (3197) dan Muslim(1679) ]
Para ulama bersepakat bahwa keempat bulan
haram tersebut memiliki keutamaan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain
selain Ramadhan, namun demikian mereka berbeda pendapat, bulan apakah yang
paling afdhal diantara keempat bulan haram yang ada ? Imam Hasan Al Bashri
rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya berkata, “Sesungguhnya Allah telah
memulai waktu yang setahun dengan bulan haram (Muharram) lalu menutupnya
juga dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan tidak ada bulan dalam setahun setelah
bulan Ramadhan yang lebih agung di sisi Allah melebihi bulan Muharram” (3).
b. Bulan Muharram disifatkan
sebagai Bulan Allah
Kedua belas bulan yang ada adalah makhluk
ciptaan Allah, akan tetapi bulan Muharram meraih keistimewaan khusus karena
hanya bulan inilah yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan Allah). Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam bersabda :
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ
الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa
di bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama
setelah shalat fardhu adalah shalat malam”.[ H.R.
Muslim (11630) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]
Hadits ini mengindikasikan adanya keutamaan
khusus yang dimiliki bulan Muharram karena disandarkan kepada lafzhul Jalalah
(lafazh Allah). Para Ulama telah menerangkan bahwa ketika suatu makhluk
disandarkan pada lafzhul Jalalah maka itu
mengindikasikasikan tasyrif (pemuliaan) terhadap makhluk
tersebut, sebagaimana istilah baitullah (rumah Allah) bagi
mesjid atau lebih khusus Ka’bah dan naqatullah(unta Allah) istilah
bagi unta nabi Sholeh ‘alaihis salam dan lain sebagainya.
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh
menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan Muharram sebagai syahrulloh (bulan
Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ? Mungkin dijawab bahwa hal itu
dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara bulan-bulan haram yang Allah
diharamkan padanya berperang, disamping itu bulan Muharram adalah bulan perdana
dalam setahun maka disandarkan padanya lafzhul Jalalah (lafazh Allah) sebagai
bentuk pengkhususan baginya dan tidak ada bulan lain yang Nabi Muhammad
shallallohu alaihi wasallam sandarkan kepadanya lafzhul Jalalah melainkan bulan
Muharram” (4)
As Suyuthi mengatakan: Dinamakan syahrullah –
sementara bulan yang lain tak mendapat gelar ini – karena nama bulan ini “Al
Muharram” nama nama islami. Berbeda dgn bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan
lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut
bulan Muharram ini dgn nama : Shafar Awwal. Kemudian ketika islam datanng,
Allah ganti nama bulan ini dgn Al Muharram, sehingga nama bulan ini Allah
sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (5)
Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah
Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat
terhormatnya bulan ini (6). karena itu, tak boleh ada
sedikitpun riak & konflik di bulan ini.
3. Amalan Yang
Dianjurkan di Bulan Muharram
Sebagaimana telah disebutkan di atas dari
perkataan Qatadah rahimahulloh bahwa amalan sholeh dilipatgandakan pahalanya di
bulan-bulan haram, dengan demikian secara umum segala jenis kebaikan dianjurkan
untuk diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya di bulan Muharram. Adapun ibadah
yang dianjurkan secara khusus pada bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah
sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah radhiyallohu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam bersabda,
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ
الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan
Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah
sholat lail” [ HR. Muslim(11630) ]
Mulla Al Qari’ menyebutkan bahwa hadits di
atas sebagai dalil anjuran berpuasa di seluruh hari bulan Muharram. Namun ada
satu masalah yang kadang ditanyakan berkaitan dengan hadits ini yaitu,
‘Bagaimana memadukan antara hadits ini dengan hadits yang menyebutkan bahwa
Nabi shallallohu alaihi wasallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban yang
menjadi bulannya Allah, bukan di bulan Muharram? Imam Nawawi rahimahullah telah
menjawab pertanyaan ini, beliau mengatakan boleh jadi Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam belum mengetahui keutamaan puasa Muharram kecuali
di akhir hayat beliau atau mungkin ada saja beberapa udzur yang menghalangi
beliau untuk memperbanyak berpuasa di bulan Muharram seperti beliau mengadakan
safar atau sakit (7).
Kemudian anjuran berpuasa di bulan Muharram
ini lebih dikhususkan dan ditekankan hukumnya pada hari yang dikenal dengan
istilah Yaumul ‘Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh bulan
Muharram (‘asyuro). ‘Asyuro berasal dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh.
Pada hari ‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada
umatnya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah
Ta’ala yaitu ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro.
4. Hadits-Hadits
Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro
Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar ibadah
puasa tersebut banyak, kami akan sebutkan diantaranya dengan
pengklasifikasian sebagai berikut:
Kaum Yahudi juga berpuasa di hari Asyuro
bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى
اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا
أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata :
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. tiba di Madinah, beliau melihat
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau bertanya : “Hari
apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini
Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa
pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun
bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka
beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan
datang. [H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]
Hadis lain menjelaskan:
عَنْ أَبِي
مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ
الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa radhiyallohu anhu berkata,
“Hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka
menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah kalian (pada hari itu)” [HR.
Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal hadits ini menurut periwayatan imam
Muslim)
Kaum Quraiys di zaman Jahiliyah juga berpuasa
Asyuro dan puasa ini diwajibkan atas kaum muslimin sebelum kewajiban puasa
Ramadhan
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ
شَاءَ تَرَكَهُ . متفق عليه.
Dari Aisyah radhiyallohu anha berkata, Kaum
Qurays pada masa Jahiliyyah juga berpuasa di hari ‘Asyuro dan Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam juga berpuasa pada hari itu, ketika beliau telah
tiba di Medinah maka beliau tetap mengerjakannya dan memerintahkan ummatnya
untuk berpuasa. Setelah puasa Ramadhan telah diwajibkan beliau pun meninggalkan
(kewajiban) puasa ‘Asyuro, seraya bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa
maka silakan tetap berpuasa dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa maka
tidak mengapa” [ HR. Bukhari (1863) dan Muslim(1897) ]
عن عَبْد
اللَّهِ بْن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ
كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ
فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ
صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma
bahwa kaum Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam serta kaum muslimin juga berpuasa sebelum diwajibkan puasa Ramadhan,
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari ‘Asyuro
termasuk hari-hari Allah, barangsiapa ingin maka berpuasalah dan siapa yang
ingin meninggalkan maka boleh” [ HR. Muslim(1901) ]
Perhatian Rasulullah shallallohu alaihi wa
sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang begitu besar terhadap
puasa ‘Asyuro
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا
هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras
untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada
hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” [
H.R. Bukhari (1867) dan Muslim(1914) ]
عَنْ
الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ
الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ
ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ
اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ
الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ
عِنْدَ الْإِفْطَارِ
Dari Rubai’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’
radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam di pagi
hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang berada di sekitar Medinah
(pesan), “Barangsiapa yang tidak berpuasa hari itu hendaknya menyempurnakan
sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan barangsiapa yang berpuasa maka
hendaknya melanjutkan puasanya”. Rubai’ berkata, “Maka sejak itu kami
berpuasa pada hari ‘Asyuro dan menyuruh anak-anak kami berpuasa dan kami
buatkan untuk mereka permainan yang terbuat dari kapas lalu jika salah seorang
dari mereka menangis karena ingin makan maka kami berikan kepadanya
permainan tersebut hingga masuk waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari
(1960) dan Muslim (1136), redaksi hadits ini menurut periwayatan Imam Muslim ]
5. Keutamaan Puasa Asyuro
عَنْ أَبِي
قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi
Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro aku
berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” [ HR.
Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad(22024). Hadits semakna dengan ini
juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih beliau (1162) ]
a. Bagi yang ingin
berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya
Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata :
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan
memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan, “Ya
Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. Maka Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:
فَإِذَا كَانَ
الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Jika tahun depan insya Allah (kita
bertemu kembali dengan bulan Muharram), kita akan
berpuasa juga pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“
Akan tetapi belum tiba Muharram tahun depan
hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut [
HR. Muslim (1134) ]
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma beliau
berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, berbedalah
dengan orang Yahudi” [Diriwayatkan dengan sanad yang shohih oleh
Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665) dan Ath Thobari di Tahdzib Al
Aatsaar(1110)]
b. Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11
Muharram)
Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul Ma’aad
setelah merinci dan menjelaskan riwayat-riwayat seputar puasa ‘Asyuro, beliau
menyimpulkan : Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro: Urutan pertama;
dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal
sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua; puasa
tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits . Urutan
ketiga, puasa tanggal 10 saja (8). Kesimpulan Ibnul Qayyim
di atas didasari dengan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma,
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. bersabda :
صُومُوا يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ
يَوْمًا
“Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah
dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari
sesudahnya.“ [HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu
Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]
Namun hadits ini sanadnya lemah, Asy Syaikh
Al Albani rahimahulloh menyatakan, “Hadits ini sanadnya lemah karena salah
seorang perowinya yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila
jelek hafalannya, selain itu riwayatnya menyelisihi riwayat ‘Atho bin Abi Rabah
dan selainnya yang juga meriwayatkan dengan sanad yang shohih bahwa ini adalah
perkataan Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma sebagaimana yang disebutkan oleh
Thahawi dan Baihaqi (9).
Dalam pandangan yang lain, hadist yang lemah
boleh dilaksanakan, hal ini dikarenakan untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan
umat-Nya. Bereda dengan hadist yang menjelaskan tentang syari’at. Maka hadist
yang lemah tidak diperbolehkan untuk dijadikan sebagai landasan atau dasar.
Namun demikian puasa sebanyak tiga hari
(9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua alasan:
1)
Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat,
maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan
puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10).
2)
Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).
Adapun puasa tanggal 9 dan 10,
pensyariatannya dinyatakan dalam hadis yang shahih, dimana
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada akhir hidup beliau sudah
merencanakan untuk puasa pada tanggal 9, hanya saja beliau wafat sebelum
melaksanakannya. Beliau juga telah memerintahkan para shahabat untuk berpuasa
pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.
Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh saja;
sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama yang lain memandang
tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja, wallohu a’lam.
Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan
anjuran Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk melakukan puasa, sekalipun
hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan tentunya
kita sepatutnya berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan
oleh kaum muslimin.
Keterangan:
1.
Tarikh
Ad Dimasyq 1/51
2.
Tafsir
Al Baghawi dan Tafsir Ibn Katsir
3.
Lathoif
Al Ma’arif hal 36
4.
Hasyiah
As Suyuthi ‘ala Sunan An Nasaai
5.
Syarh
Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3/252
6.
Lathaif
al-Ma’arif, hal. 34
7.
Al
Minhaj Syarah Shohih Muslim bin Hajjaj
8.
Zaadul
Ma’aad 2/63
9.
Ta’liq
Shohih Ibn Khuzaimah (3/290)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar