Minggu, 22 Juni 2014

MENYANTUNI ANAK YATIM PIATU

Tidak ada komentar:

Anak yatim adalah anak yang ditinggalkan mati
ayahnya selagi ia belum mencapai umur balig.
Dalam Islam, anak yatim memiliki kedudukan
tersendiri. Mereka mendapat perhatian khusus
dari Rasulullah saw. Ini tiada lain demi untuk
menjaga kelangsungan hidupnya agar jangan
sampai telantar hingga menjadi orang yang tidak
bertanggung jawab.
Oleh karena itu, banyak sekali hadis yang
menyatakan betapa mulianya orang yang mau
memelihara anak yatim atau menyantuninya.
Sayang, anjuran Beliau itu sampai kini belum
begitu mendapat tanggapan yang positif dari
masyarakat. Hanya sebagian kecil saja umat
Islam yang mau memperhatikan anjuran itu. Hal
ini semestinya tidak layak dilakukan umat Islam
yang inti ajarannya banyak menganjurkan saling
tolong sesama umat Islam dan bahkan selain
umat Islam.
Di Indonesia, khususnya di desa-desa, sampai
sekarang kebiasaan memberi uang ala kadarnya
pada tanggal 10 Muharam kepada anak yatim
masih berlaku. Pada setiap tanggal 10 Muharam,
anak-anak yatim bergerombol-gerombol
mendatangi rumah-rumah orang kaya atau para
dermawan. Di situ mereka memperoleh
pembagian uang. Kebiasaan demikian sungguh
amat terpuji, tetapi apakah para anak yatim
hanya butuh bantuan sekali itu?
Tentunya tidak. Mereka membutuhkan bimbingan
sampai dirinya mampu mengarungi bahtera
kehidupannya sendiri. Betapa mulianya orang
yang mau berbuat demikian, sebagaimana hadis
yang diriwayatkan Imam Bukhari bersumber dari
Sahl bin Sa’ad bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda, “Saya yang menanggung (memelihara)
anak yatim dengan baik ada di surga bagaikan
ini, seraya Beliau memberi isyarat dengan jari
telunjuk dan jari tengah dan Beliau rentangkan
kedua kaki jarinya itu” (H.R. Bukhari).
Allah sendiri berfirman yang artinya, “Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah
balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang
baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan
harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu,
adalah dosa besar (An-Nisaa:2).
Anak yang ditinggal mati oleh ibunya ketika ia
masih kecil bukanlah termasuk anak yatim. Sebab
bila kita lihat arti kata yatim sendiri ialah
kehilangan induknya yang menanggung nafkah. Di
dalam Islam yang menjadi penanggung jawab
urusan nafkah ini ialah ayah, bukan ibu. Alquran
telah menjelaskan adanya larangan memakan
harta anak yatim dengan cara lalim sebagaimana
firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya orang
yang memakan harta anak yatim secara lalim.
Sebenarnya mereka itu menelan api neraka
sepuluh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala” (An-Nisaa: 10).
Ismail bin Abdurrahman berkata, “Pemakan harta
anak yatim dengan lalim itu besok di hari kiamat
akan dikumpulkan dan di waktu itu keluarlah api
yang menyala-nyala dari mulutnya, telinganya
dan matanya sehingga semua orang mengenalnya
bahwa ia sebagai pemakan harta anak yatim.”
Para ulama berkata, bagi setiap wali anak yatim
bilamana ia dalam keadaan fakir diperbolehkan
baginya memakan sebagian anak yatim dengan
cara ma’ruf (baik) menurut sekadar
kebutuhannya saja demi kemaslahatan untuk
memenuhi kebutuhannya tidak boleh berlebih-
lebihan dan jika berlebih-lebihan akan menjadi
haram. Menurut Ibnul Jauzi dalam menafsirkan
“bil ma’ruf” ada 4 jalan yaitu, pertama,
mengambil harta anak yatim dengan jalan kiradl.
Kedua, memakannya sekadar memenuhi
kebutuhan saja. Ketiga, mengambil harta anak
yatim hanya sebagai imbalan, apabila ia telah
bekerja untuk kepentingan mengurus harta anak
yatim itu, dan keempat, memakan harta anak
yatim tatkala dalam keadaan terpaksa, dan
apabila ia telah mampu, harus mengembalikan
dan jika ia benar-benar tidak mampu hal tersebut
dihalalkan.
Kecuali mengancam orang yang merugikan harta
anak yatim, Allah juga akan mengangkat derajat
orang-orang yang suka menyantuni anak yatim;
sebagaimana sabda Nabi, “Barang siapa yang
menanggung makan dan minum (memelihara)
anak yatim dari orang Islam, sampai Allah SWT
mencukupkan dia, maka Allah mengharuskan ia
masuk surga, kecuali ia melakukan dosa yang
tidak terampunkan” (H.R. Turmudzi ).
Dari hadis ini, memberikan jaminan bagi orang-
orang yang mau mengasuh anak yatim akan
memperoleh imbalan pahala dari Allah SWT,
berupa surga yang disejajarkan dengan surga
Nabi saw., kecuali ia melakukan dosa-dosa yang
tidak terampunkan oleh Allah SWT. Demikianlah
kewajiban kita sebagai umat Islam dalam
menyantuni anak yatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

petunjuk arah

 
back to top